Tempat Subali Jebol Dinding Goa (Yudi Noor Hadiyant0)
15 ruang didalam goa Kiskendo ibarat sebuah istana kerajaan besar. Dalam versi lain pemberi nama-nama tersebut yakni Ki Gondorio. Ia dapat petunjuk dari mitos mimpi dalam tidurnya. Dalam mimpi itu segala bentuk apapun ide ia terima. Lalu terjadilah daftar-daftar nama di Goa Kiskendo.
Nama-nama itu diantaranya adalah Sumelong. Yaitu sebuah lubang yang dapat menembus ke atas. Menurut juru kunci, Selamet (67), lubang yang terletak di tengah goa itu ialah tempat Subali keluar dari dalam goa akibat pintu goa ditutup Sugriwo dengan batu besar.
“Subali bertarung melawan raksasa Mahesa Lembusura. Dari luar goa Sugriwo sengaja tutup pintu goa dengan batu besar. Nah lewat Sumelong inilah Subali menerobos dinding goa,” katanya, kemarin.
Selain Lumbung Kampek, ada juga Pertapaan Subali. Kedua tempat itu satu jalur dengan tempat air suci. Tempat tersebut dipercaya untuk menyimpan barang-barang berharga kerajaan dan bertapa Subali sebelum dia melawan raksasa Lembusura dan Mahesasura.
Selamet mengemukakan di dalam goa juga ada tempat lumbung makanan kerajaan. Tempat itu bernama Selumbung.”Kalau Seterbang adalah nama goa yang masih satu bagian dari Kiskendo. Lorong goa itu terhubung dengan laut selatan,” jelasnya.
Adapun Keraton Sekandang, kata dia, merupakan pusat tahta Kerajaan Goa Kiskendo. Tempat itu merupakan tempat utama pertempuran antara Subali melawan kedua raksasa tersebut.
“Di goa sini juga ada tempat Pertapaan Kusuma. Yakni tempat bertapa bagi orang yang ingin memperoleh derajat tinggi. Sangat cocok bagi para calon bupati, lurah, dan camat jika mau memperoleh kursi kekuasaannya,” ujarnya.
Dia menambahkan, ruang lainnya ada yang bernama Padasan, Sepranji, Babat Kandel, Sawahan dan Selangsur. Tempat-tempat itu, menurutnya, merupakan sumber air pada masa kejayaan kerajaan. Disamping berfungsi sebagai pusat peternakan, juga menanam padi dan tempat para serdadu kerajaan.
“Khusus Babat Kandel berupa batuan-batuan mirip usus perut manusia. Itu merupakan isi perut Mahesasura yang dibuang Subali,” jelasnya.
Dari nama-nama ruang goa tersebut masih ada satu kisah yang dikatakan Selamet. Sebelum sendang Kawidodaren yang berada di puncak Suralaya ditemukan, pihak keraton Yogyakarta menggunakan air suci didalam goa itu untuk ritual penyucian senjata Keraton.”Ritual itu dilaksanakan setahun sekali. Dan sendang Kawidodaren juga dibuka setahun sekali,” tandasnya.
Selengkapnya...
Jumat, 02 Juli 2010
Wisata Goa Kiskendo
Jumat, 31 Juli 2009
Menyemarakkan (Lagi) Sepak Bola Blora
PADA era 1990-an apresiasi pemuda di Blora terhadap sepak bola sangat tinggi. Mereka aktif main bola di masing-masing desa setiap sore. Lapangan penuh dengan riuh para pemuda yang memainkan dan menonton si kulit bundar. Penontonnya pun dari berbagai jenis dan usia.
Pertandingan demi pertandingan dari mulai antardesa sampai antarkecamatan menjadi kompetisi antarwarga. Gerak semangat sorak-sorai suporter yang melibatkan perangkat desa dan masyarakatnya menjadi sebuah kekuatan sosial yang harmonis.
Ini dapat dijadikan alat untuk saling silatur rahmi dan membantu satu dengan yang lainnya. Juga, menumbuhkan semangat patriotisme dan “nasionalisme” terhadap tanah kelahirannya dan bahu-membahu dalam kerukunan antarwarga.
Pada 1994 ada sebuah turnamen bola yang diadakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora. Pertama-tama Pemkab berkoordinasi dengan kecamatan-kecamatan di Blora.
Setelah fixed, para camat menginstruksikan masing-masing desa untuk mengikuti turnamen antardesa sekecamatan. Setelah seleksi di tingkat kecamatan selesai, desa yang menang mewakili kecamatan.
Lalu digelarlah turnamen antarkecamatan. Pada waktu itu partai final dimainkan di stadion sepak bola milik Perusahaan Organda (PO) Agung di Kecamatan Jepon. Pemenangnya adalah tim dari Desa Kemiri, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora dengan hadiah 2 ekor kambing.
Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi tim pemenang. Ini tak lepas dari nilai-nilai kebersamaan antar pemain dan supporter yang menjadi syarat sebuah pertandingan bisa meriah dan mendapat kemenangan dengan penuh sportivitas.
Sekaligus akan menghangatkan hubungan kekerabatan antara warga desa satu dengan yang lain.
Manfaat lain adalah para pemain dapat mengembangkan dirinya untuk melepaskan ego pribadinya menjadi satu kekuatan dalam tim, yang menuntut kerjasama saling melengkapi satu sama lain.
Pembicaraan dari mulut ke mulut di warung-warung makan akan hiruk-pikuk atlet-atlet sepak bola Blora pun menjadi isu yang hangat di masyarakat desa. Hal ini “memaksa” para pelatih masing-masing desa untuk menguras otaknya agar menyusun strategi pemenangan tim.
Kekuatan Kultural
Basis kekuatan kultur bola Blora memang sudah tampak, terlihat dari 271 desa dan 24 kelurahan di Blora, hampir semua memiliki lapangan bola. Sayang, kondisinya sekarang memprihatinkan dan miskin peminat.
Para pemuda sebagai tulang punggung kualitas suatu generasi cenderung apatis untuk berolah raga. Mereka telah terhipnotis dengan konstruksi yang dibangun media tentang sepak bola itu sendiri.
Bahwa bola hanya sebagai tontonan yang menafikan nila-nilai kekuatan kulturnya. Apalagi sebagian tayangan pilihan pertandingan bola sengaja diperjualbelikan untuk ditonton bagi yang mampu.
Tak urung bola hanya tinggal nilai-nilai kapitalis yang semakin menempatkan masyarakat hanya sebagai konsumen (tayangan) bola. Padahal seharusnya menjadi warga bola yang mampu mengambil manfaat pertandingan bola demi kerukunan warga sekaligus hiburan.
Satu dasawarsa terakhir ini dapat saya rasakan bahwa fungsi lapangan sepak bola di penjuru pelosok desa di Blora telah mati suri. Hal tersebut menjadi keprihatinan bersama sebagai warga, aparat pemerintah, lebih-lebih pemuda Blora untuk menumbuhkan kembali ruh budaya olahraga di tengah masyarakat.
Dampak sosial lain yang terjadi dari kapitalisasi bola yang masuk ke desa adalah hilangnya nilai-nilai humanisme yang ada dalam masyarakat.
Konflik sosial baik antarwarga maupun antarkampung akibat tidak tersalurkan kepada yang benar seperti olahraga akan menimbulkan perpecahan dalam sistem sosial. Ini memunculkan sikap bermalas-malasan bagi pemuda kita yang berdampak pada rendahnya kekuatan komunal di antara masyarakat dengan pemerintah.
Betapa penting dan berharga olahraga yang bermanfaat besar bagi kesehat
an produksi masyarakat Blora.
Olahraga juga dapat mencegah timbulnya penyakit di dalam tubuh. Menurut hasil riset pemerintah Singapura, orang bermain bola dapat menghilangkan pikiran-pikiran negatif, terutama pikiran tentang seks.
Di samping itu juga dapat melenturkan otot-otot tubuh, menguatkan fisik dan stamina kita, sekaligus mencegah penyakit sesak napas pada hari tua.
Kulturgebundenheit
Maka kehadiran solidaritas kultural dari ajang pertandingan sepakbola antardesa dan kecamatan di Blora akan memberikan kulturgebundenheit atau tarik-menarik kepentingan banyak hal.
Ini akan memberikan keuntungan di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya Blora. Sebab dengan penyelenggaraan turnamen sepak bola banyak mendatangkan orang dan memberikan hiburan sekaligus manfaat kearifan lokal di Blora dalam ranah membangun semangat kebersamaan horizontal.
Keberadaannya akan menjadi pengobat rindu akan para pemuda Blora yang berlari di tanah lapang dengan menggiring dan menendang bola. Agar mereka menjadi pemuda yang kuat, sehat, tangguh dalam arena pertandingan dan di masyarakatnya.
Maka proses pendewasaan diri dan politik pembangunan demokratisasi akan terserap dalam benak masyarakat Blora! (80)
— Yudi Noor Hadiyanto, warga Blora pecinta bola
07 Mei 2009 Selengkapnya...
Berburu Jati Pendhem di Blora
Wacana
BLORA sebagai ikon kabupaten penghasil jati terbaik di tingkat nasional maupun internasional memiliki sejarah panjang tentang legenda pohon jati.
Wilayah yang dikelilingi Kabupaten Bojonegoro, Ngawi (Jatim), Rembang, Pati, dan Grobogan (Jateng) itu telah menjadi magnet (pusat) perhatian dunia akan keberadaan pohon jati dengan beribu kisahnya.
Peristiwa beratmosfernya alam raya karena ulah para pendahulu atas perilaku pembalakan hutan yang rindang nan rimbun hijau, kini hanya memberikan penghasilan yang nilainya jutaan rupiah bagi petani di pedalaman pinggiran hutan Blora.
Bagaimana tidak? Pohon jati yang dulunya ditebangi oleh para penjarah, tumbang akibat dari banjir, angin ribut, ataupun tanah longsor, saat musim hujan telah terkubur di dalam tanah sampai kedalaman tujuh hingga sepuluh meter.
Historisitas pohon-pohon jati yang tumbang tersebut mengikuti deras arus banjir dari sungai ke waduk dan menghilang ditelan lumpur sungai. Kini, masyarakat Blora mengenalnya dengan nama kayu pendhem.
Lokasi letak dan tempat jati/ kayu pendhem itu sulit diketahui keberadaaannya. Kalau mencarinya, memerlukan kejelian, ketelitian, dan kewaspadaan karena penuh tantangan. Hal tersebut disebabkan oleh karena Blora yang luas hutannya mencapai 16.086,35 hektare menimbulkan hasrat ingin tahu yang luar biasa bagi sebagian besar masyarakat untuk berburu kayu pendhem.
Harapan besar akan keuntungan yang memberikan nilai materi menjadi spirit para pencarinya. Ibarat harta karun, keberadaan jati pendhem yang diambil masyarakat Blora dari waktu kewaktu seolah-olah tak pernah habis.
Sejengkal tanah di pinggiran hutan atau di dasar sungai menyiratkan pertanyaan penuh curiga para petani untuk meneliti keberadaan tanahnya, apakah benar-benar ada jati pendhem-nya atau tidak.
Metode yang dilakukan dalam pencarian jati pendhem pun sangat sederhana; yaitu dengan menggunakan perangkat alat cis dari bahan baja bermata bor, dengan panjang lima sampai sepuluh meter.
Apabila mata bor tersebut menyentuh benda keras, seketika itu pula besi diputar-putar. Setelah baja dicabut dari dalam tanah, dapat diketahui apakah benda keras itu kayu atau bukan.
Jika lubang di ujung baja ada serbuk kayu, pasti ada kayu di dalamnya. Untuk lebih mengetahui seberapa besar kayu di dalam tanah, para pencari kayu pendhem kemudian menancapkan beberapa cis dari baja tersebut pada titik yang berbeda. Setelah yakin bahwa kayu jati yang diperoleh cukup besar, para pekerja segera melakukan penggalian tanah. Maka, cangkul, sekop, linggis, dan derek, menjadi pelengkap alat penggali sekaligus pengangkat kayu.
Di lokasi tanah pinggiran hutan sekitar Desa Buloh, Kunduran (bagian barat Kabupaten Blora), Banjarrejo, sampai wilayah KPH Randublatung (bagian timur-selatan Kabupaten Blora), Cepu, dan sepanjang sungai Lusi sampai Waduk Greneng, Desa Greneng, Kecamatan Tunjungan, banyak sekali petani memperoleh kayu. Mereka bekerja secara gotong-royong, yaitu berkelompok enam sampai tujuh orang per kelompoknya.
Dengan berkelompok, selama sepuluh sampai tiga puluh hari para petani akan menelusuri pinggiran hutan dengan teliti. Setelah proses penelitian dilakukan dan yakin ada kayu di dalamnya, maka dilakukan penggalian. Tak jarang dalam penggalian mereka menemukan uang yang terbuat dari kuningan bertuliskan huruf Jawa dan angka 1070.
Keuntungan Ekonomis
Pekerjaan pencarian jati tak bertuan yang terkubur ratusan tahun itu, adalah kerja sampingan para petani Blora ketika lahan sawah kering. Asas manfaat bagi pertumbuhan ekonomi rakyat Blora sangat signifikan. Lebih-lebih bagi kaum petani pedesaaan yang mengandalkan sawah tadah hujan. Ketika lahan sawah kering dan kesulitan air di musim kemarau, maka yang dikerjakan para petani adalah berburu jati pendhem.
Hasil kayu yang ditemukan pun bervariasi. Mulai yang berdiameter 20 sentimeter dan panjang lima meter hingga yang berdiameter 115 sentimeter dan panjang 25 meter. Harganya dapat Rp 5.000.000 sampai Rp 12.000.000.
Kini sudah saatnya pihak-pihak yang berkompenten dengan industri kayu memberdayakan masyarakat Blora. Para pengusaha furnitur yang bergabung dalam International Furniture and Craft Fair Indonesia (IFINA) bisa memperkuat sumber daya pemuda lokal Blora untuk dijadikan pengrajin yang nantinya akan menjadi energi kekuatan produksi di dunia industri yang bahan bakunya dari kayu jati. Begitu pula mereka yang mempuyai kepentingan dengan dunia permeubelan yang bergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo).
Komitmen pemerintah sudah jelas, harus menjadikan kabupaten itu mendayagunakan dan melanggengkan daerahnya menjadi penghasil jati terbesar tingkat nasional. Slogan “Blora kutha jati, ayo tro pada makarti” (Blora kota jati, ayo teman kita harus semangat bekerja) telah menjadi spirit kerja dan kesadaran baru di tengah masyarakat.
Mereka sudah sadar, betapa bernilainya hutan dan pohon jati yang telah mengubah cara berpikir para pembalak liar menjadi pencinta pohon jati demi hari depan anak cucu mereka.
Masa depan Blora saat ini adalah penghasilan kayu pendhem, perluasan hutan jati di hutan yang kosong akibat illegal loging, serta studi khusus tentang kehutanan dan jati. Bisa kita saksikan dan rasakan, Blora yang dulu panas karena kegersangan dan tandus, kini tiap-tiap desanya telah menjadi hijau. Tanah tegalan di desa-desa dan kecamatan telah menjadi pertumbuhan jati.
Seolah masyarakat berlomba-lomba menanam pohon jati di tanah tegalannya. Pohon jati tersebut adalah merupakan investasi jangka panjang bagi masa depan kekuatan ekonomi masyarakat Blora. Tinggal bagaimana pemerintah mengelolanya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan, kesejahateraan, dan kemajuan bersama warganya.(68)
– Yudi Noor Hidayanto, warga Blora bergelar Sarjana Filsafat Islam, dan pegiat Teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN, Walisongo Semarang.
11 Desember 2008 Selengkapnya...
Menelisik Perjalanan Batin Iwan Fals
Iwan Fals adalah salah satu pahlawan asia yang tidak bisa dari narasi besar sejarah kebudayaan bangsa Indonesia. kehadirannya sebagai sang kritikus sosial ditengah miskinnya kebersamaan horisontal ditengah bangsa yang sedang di landa krisis besar akan memberikan revolusi cinta yang mendasar, menyeluruh dan spekulatif.Membaca buku ini seperti mendengarkan musik Jazz di pesantren salafiah. Sebuah adonan yang tidak mungkin bagi anda-anda pecinta kebijaksanaan (wisdom). Dari sinilah pembaca akan menemukan dan menguak misteri yang selama ini tertutup oleh publik, akan karya-karya besar Iwan Fals.!@
Selengkapnya...
Kesenian Rakyat Mengolah Buah Seni Rakyat Blora
Selasa, 7 Juli 2009 | 13:38 WIB
Akhir-akhir ini di Blora terdapat cerita yang amat menarik untuk diikuti siapa saja. Kisah itu adalah penyatuan seni barong, reog, dan ketoprak oleh personel kelompok seni barong Gembong Amijaya Dukuh Ngriking, Kemiri, Kunduran, Blora, yang di tampilkan dalam satu panggung episode pementasan.
Dengan tata cahaya seadanya, pentas seni ini diawali gerakan tarian indah dari aura keperkasaan singa raksasa yang dilengkapi dengan aktor pembantu "penthul". Dalam literatur sejarah seni rakyat Blora, para penthul itu bernama Bujangganong/Pujonggo Anom, Joko Lodro/Gendruwo, dan pasukan berkuda/Reog Noyontoko Untub.
Dilanjutkan dengan tarian reog dan jaran kepang, adegan langsung memasuki alur cerita ketoprak. Cerita ketoprak yang hadir pun merangkum implikasi-historis legenda (pendahulu) Blora. Misalnya, cerita tentang Kerajaan Mataram di bawah Paku Buwana yang sedang terjadi pemberontakan dipimpin Mangku Bumi dan Mas Sahid.
Cerita semacam ini di zaman sekarang amat jarang di tengah-tengah kita. Lebih-lebih cerita itu dilakukan kelompok sosial masyarakat yang termarjinalkan dari peradaban modern, yang terletak di pelosok pinggiran hutan Blora dengan mayoritas sebagai petani. Namun, karena kecintaan masyarakat Dukuh Ngriking terhadap seni amat tinggi, beban yang semula dipandang berat menjadi ringan. Kecintaan itu didasari keyakinan masyarakat setempat yang memandang penghormatan terhadap ajaran adat Jawa.
Hal ini sesuai sekali dengan apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, "Kalau orang tidak tahu sejarah, ia tidak akan paham masa kini, apalagi masa depan. Semua kesalahan yang kita lakukan selama ini terjadi karena kita tidak tahu sejarah."
Maka, di tengah kerapuhan semangat kebersamaan dan pandangan positivisme yang terjadi di lingkungan kita, kita dapat mengambil intisari nilai dalam tradisi seni yang dieksplorasi masyarakat Dukuh Ngriking. Nilai-nilai tersebut yang terdapat dalam karakteristik maupun sifat dari adegan pagelaran barongan, reog, dan ketoprak spontanitas, keras, lembut, dan kritis.
Spirit semacam ini harus ditumbuhkembangkan di tengah-tengah kita agar dialektika humanisme sosial selalu tumbuh menjadikan aktualisasi diri dalam menghadapi hari-hari penuh tantangan pada bangsa yang sedang dilanda krisis ini.
Belajar dari tradisi lokal dari komunitas kecil seni rakyat yang sangat produktif ini hendaknya didukung pemerintah dengan mengemas seni tradisi dalam term cara pandang seni modern.
YUDI NOOR HADIYANTO Warga Blora, mantan anggota Teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Selengkapnya...