Selasa, 7 Juli 2009 | 13:38 WIB
Akhir-akhir ini di Blora terdapat cerita yang amat menarik untuk diikuti siapa saja. Kisah itu adalah penyatuan seni barong, reog, dan ketoprak oleh personel kelompok seni barong Gembong Amijaya Dukuh Ngriking, Kemiri, Kunduran, Blora, yang di tampilkan dalam satu panggung episode pementasan.
Dengan tata cahaya seadanya, pentas seni ini diawali gerakan tarian indah dari aura keperkasaan singa raksasa yang dilengkapi dengan aktor pembantu "penthul". Dalam literatur sejarah seni rakyat Blora, para penthul itu bernama Bujangganong/Pujonggo Anom, Joko Lodro/Gendruwo, dan pasukan berkuda/Reog Noyontoko Untub.
Dilanjutkan dengan tarian reog dan jaran kepang, adegan langsung memasuki alur cerita ketoprak. Cerita ketoprak yang hadir pun merangkum implikasi-historis legenda (pendahulu) Blora. Misalnya, cerita tentang Kerajaan Mataram di bawah Paku Buwana yang sedang terjadi pemberontakan dipimpin Mangku Bumi dan Mas Sahid.
Cerita semacam ini di zaman sekarang amat jarang di tengah-tengah kita. Lebih-lebih cerita itu dilakukan kelompok sosial masyarakat yang termarjinalkan dari peradaban modern, yang terletak di pelosok pinggiran hutan Blora dengan mayoritas sebagai petani. Namun, karena kecintaan masyarakat Dukuh Ngriking terhadap seni amat tinggi, beban yang semula dipandang berat menjadi ringan. Kecintaan itu didasari keyakinan masyarakat setempat yang memandang penghormatan terhadap ajaran adat Jawa.
Hal ini sesuai sekali dengan apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, "Kalau orang tidak tahu sejarah, ia tidak akan paham masa kini, apalagi masa depan. Semua kesalahan yang kita lakukan selama ini terjadi karena kita tidak tahu sejarah."
Maka, di tengah kerapuhan semangat kebersamaan dan pandangan positivisme yang terjadi di lingkungan kita, kita dapat mengambil intisari nilai dalam tradisi seni yang dieksplorasi masyarakat Dukuh Ngriking. Nilai-nilai tersebut yang terdapat dalam karakteristik maupun sifat dari adegan pagelaran barongan, reog, dan ketoprak spontanitas, keras, lembut, dan kritis.
Spirit semacam ini harus ditumbuhkembangkan di tengah-tengah kita agar dialektika humanisme sosial selalu tumbuh menjadikan aktualisasi diri dalam menghadapi hari-hari penuh tantangan pada bangsa yang sedang dilanda krisis ini.
Belajar dari tradisi lokal dari komunitas kecil seni rakyat yang sangat produktif ini hendaknya didukung pemerintah dengan mengemas seni tradisi dalam term cara pandang seni modern.
YUDI NOOR HADIYANTO Warga Blora, mantan anggota Teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Jumat, 31 Juli 2009
Kesenian Rakyat Mengolah Buah Seni Rakyat Blora
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar