Jumat, 31 Juli 2009

Berburu Jati Pendhem di Blora

Wacana

BLORA sebagai ikon kabupaten penghasil jati terbaik di tingkat nasional maupun internasional memiliki sejarah panjang tentang legenda pohon jati.


Wilayah yang dikelilingi Kabupaten Bojonegoro, Ngawi (Jatim), Rembang, Pati, dan Grobogan (Jateng) itu telah menjadi magnet (pusat) perhatian dunia akan keberadaan pohon jati dengan beribu kisahnya.

Peristiwa beratmosfernya alam raya karena ulah para pendahulu atas perilaku pembalakan hutan yang rindang nan rimbun hijau, kini hanya memberikan penghasilan yang nilainya jutaan rupiah bagi petani di pedalaman pinggiran hutan Blora.

Bagaimana tidak? Pohon jati yang dulunya ditebangi oleh para penjarah, tumbang akibat dari banjir, angin ribut, ataupun tanah longsor, saat musim hujan telah terkubur di dalam tanah sampai kedalaman tujuh hingga sepuluh meter.

Historisitas pohon-pohon jati yang tumbang tersebut mengikuti deras arus banjir dari sungai ke waduk dan menghilang ditelan lumpur sungai. Kini, masyarakat Blora mengenalnya dengan nama kayu pendhem.

Lokasi letak dan tempat jati/ kayu pendhem itu sulit diketahui keberadaaannya. Kalau mencarinya, memerlukan kejelian, ketelitian, dan kewaspadaan karena penuh tantangan. Hal tersebut disebabkan oleh karena Blora yang luas hutannya mencapai 16.086,35 hektare menimbulkan hasrat ingin tahu yang luar biasa bagi sebagian besar masyarakat untuk berburu kayu pendhem.

Harapan besar akan keuntungan yang memberikan nilai materi menjadi spirit para pencarinya. Ibarat harta karun, keberadaan jati pendhem yang diambil masyarakat Blora dari waktu kewaktu seolah-olah tak pernah habis.

Sejengkal tanah di pinggiran hutan atau di dasar sungai menyiratkan pertanyaan penuh curiga para petani untuk meneliti keberadaan tanahnya, apakah benar-benar ada jati pendhem-nya atau tidak.

Metode yang dilakukan dalam pencarian jati pendhem pun sangat sederhana; yaitu dengan menggunakan perangkat alat cis dari bahan baja bermata bor, dengan panjang lima sampai sepuluh meter.

Apabila mata bor tersebut menyentuh benda keras, seketika itu pula besi diputar-putar. Setelah baja dicabut dari dalam tanah, dapat diketahui apakah benda keras itu kayu atau bukan.

Jika lubang di ujung baja ada serbuk kayu, pasti ada kayu di dalamnya. Untuk lebih mengetahui seberapa besar kayu di dalam tanah, para pencari kayu pendhem kemudian menancapkan beberapa cis dari baja tersebut pada titik yang berbeda. Setelah yakin bahwa kayu jati yang diperoleh cukup besar, para pekerja segera melakukan penggalian tanah. Maka, cangkul, sekop, linggis, dan derek, menjadi pelengkap alat penggali sekaligus pengangkat kayu.

Di lokasi tanah pinggiran hutan sekitar Desa Buloh, Kunduran (bagian barat Kabupaten Blora), Banjarrejo, sampai wilayah KPH Randublatung (bagian timur-selatan Kabupaten Blora), Cepu, dan sepanjang sungai Lusi sampai Waduk Greneng, Desa Greneng, Kecamatan Tunjungan, banyak sekali petani memperoleh kayu. Mereka bekerja secara gotong-royong, yaitu berkelompok enam sampai tujuh orang per kelompoknya.

Dengan berkelompok, selama sepuluh sampai tiga puluh hari para petani akan menelusuri pinggiran hutan dengan teliti. Setelah proses penelitian dilakukan dan yakin ada kayu di dalamnya, maka dilakukan penggalian. Tak jarang dalam penggalian mereka menemukan uang yang terbuat dari kuningan bertuliskan huruf Jawa dan angka 1070.

Keuntungan Ekonomis

Pekerjaan pencarian jati tak bertuan yang terkubur ratusan tahun itu, adalah kerja sampingan para petani Blora ketika lahan sawah kering. Asas manfaat bagi pertumbuhan ekonomi rakyat Blora sangat signifikan. Lebih-lebih bagi kaum petani pedesaaan yang mengandalkan sawah tadah hujan. Ketika lahan sawah kering dan kesulitan air di musim kemarau, maka yang dikerjakan para petani adalah berburu jati pendhem.

Hasil kayu yang ditemukan pun bervariasi. Mulai yang berdiameter 20 sentimeter dan panjang lima meter hingga yang berdiameter 115 sentimeter dan panjang 25 meter. Harganya dapat Rp 5.000.000 sampai Rp 12.000.000.

Kini sudah saatnya pihak-pihak yang berkompenten dengan industri kayu memberdayakan masyarakat Blora. Para pengusaha furnitur yang bergabung dalam International Furniture and Craft Fair Indonesia (IFINA) bisa memperkuat sumber daya pemuda lokal Blora untuk dijadikan pengrajin yang nantinya akan menjadi energi kekuatan produksi di dunia industri yang bahan bakunya dari kayu jati. Begitu pula mereka yang mempuyai kepentingan dengan dunia permeubelan yang bergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo).

Komitmen pemerintah sudah jelas, harus menjadikan kabupaten itu mendayagunakan dan melanggengkan daerahnya menjadi penghasil jati terbesar tingkat nasional. Slogan “Blora kutha jati, ayo tro pada makarti” (Blora kota jati, ayo teman kita harus semangat bekerja) telah menjadi spirit kerja dan kesadaran baru di tengah masyarakat.

Mereka sudah sadar, betapa bernilainya hutan dan pohon jati yang telah mengubah cara berpikir para pembalak liar menjadi pencinta pohon jati demi hari depan anak cucu mereka.

Masa depan Blora saat ini adalah penghasilan kayu pendhem, perluasan hutan jati di hutan yang kosong akibat illegal loging, serta studi khusus tentang kehutanan dan jati. Bisa kita saksikan dan rasakan, Blora yang dulu panas karena kegersangan dan tandus, kini tiap-tiap desanya telah menjadi hijau. Tanah tegalan di desa-desa dan kecamatan telah menjadi pertumbuhan jati.

Seolah masyarakat berlomba-lomba menanam pohon jati di tanah tegalannya. Pohon jati tersebut adalah merupakan investasi jangka panjang bagi masa depan kekuatan ekonomi masyarakat Blora. Tinggal bagaimana pemerintah mengelolanya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan, kesejahateraan, dan kemajuan bersama warganya.(68)

– Yudi Noor Hidayanto, warga Blora bergelar Sarjana Filsafat Islam, dan pegiat Teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN, Walisongo Semarang.
11 Desember 2008

Tidak ada komentar: