PADA era 1990-an apresiasi pemuda di Blora terhadap sepak bola sangat tinggi. Mereka aktif main bola di masing-masing desa setiap sore. Lapangan penuh dengan riuh para pemuda yang memainkan dan menonton si kulit bundar. Penontonnya pun dari berbagai jenis dan usia.
Pertandingan demi pertandingan dari mulai antardesa sampai antarkecamatan menjadi kompetisi antarwarga. Gerak semangat sorak-sorai suporter yang melibatkan perangkat desa dan masyarakatnya menjadi sebuah kekuatan sosial yang harmonis.
Ini dapat dijadikan alat untuk saling silatur rahmi dan membantu satu dengan yang lainnya. Juga, menumbuhkan semangat patriotisme dan “nasionalisme” terhadap tanah kelahirannya dan bahu-membahu dalam kerukunan antarwarga.
Pada 1994 ada sebuah turnamen bola yang diadakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora. Pertama-tama Pemkab berkoordinasi dengan kecamatan-kecamatan di Blora.
Setelah fixed, para camat menginstruksikan masing-masing desa untuk mengikuti turnamen antardesa sekecamatan. Setelah seleksi di tingkat kecamatan selesai, desa yang menang mewakili kecamatan.
Lalu digelarlah turnamen antarkecamatan. Pada waktu itu partai final dimainkan di stadion sepak bola milik Perusahaan Organda (PO) Agung di Kecamatan Jepon. Pemenangnya adalah tim dari Desa Kemiri, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora dengan hadiah 2 ekor kambing.
Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi tim pemenang. Ini tak lepas dari nilai-nilai kebersamaan antar pemain dan supporter yang menjadi syarat sebuah pertandingan bisa meriah dan mendapat kemenangan dengan penuh sportivitas.
Sekaligus akan menghangatkan hubungan kekerabatan antara warga desa satu dengan yang lain.
Manfaat lain adalah para pemain dapat mengembangkan dirinya untuk melepaskan ego pribadinya menjadi satu kekuatan dalam tim, yang menuntut kerjasama saling melengkapi satu sama lain.
Pembicaraan dari mulut ke mulut di warung-warung makan akan hiruk-pikuk atlet-atlet sepak bola Blora pun menjadi isu yang hangat di masyarakat desa. Hal ini “memaksa” para pelatih masing-masing desa untuk menguras otaknya agar menyusun strategi pemenangan tim.
Kekuatan Kultural
Basis kekuatan kultur bola Blora memang sudah tampak, terlihat dari 271 desa dan 24 kelurahan di Blora, hampir semua memiliki lapangan bola. Sayang, kondisinya sekarang memprihatinkan dan miskin peminat.
Para pemuda sebagai tulang punggung kualitas suatu generasi cenderung apatis untuk berolah raga. Mereka telah terhipnotis dengan konstruksi yang dibangun media tentang sepak bola itu sendiri.
Bahwa bola hanya sebagai tontonan yang menafikan nila-nilai kekuatan kulturnya. Apalagi sebagian tayangan pilihan pertandingan bola sengaja diperjualbelikan untuk ditonton bagi yang mampu.
Tak urung bola hanya tinggal nilai-nilai kapitalis yang semakin menempatkan masyarakat hanya sebagai konsumen (tayangan) bola. Padahal seharusnya menjadi warga bola yang mampu mengambil manfaat pertandingan bola demi kerukunan warga sekaligus hiburan.
Satu dasawarsa terakhir ini dapat saya rasakan bahwa fungsi lapangan sepak bola di penjuru pelosok desa di Blora telah mati suri. Hal tersebut menjadi keprihatinan bersama sebagai warga, aparat pemerintah, lebih-lebih pemuda Blora untuk menumbuhkan kembali ruh budaya olahraga di tengah masyarakat.
Dampak sosial lain yang terjadi dari kapitalisasi bola yang masuk ke desa adalah hilangnya nilai-nilai humanisme yang ada dalam masyarakat.
Konflik sosial baik antarwarga maupun antarkampung akibat tidak tersalurkan kepada yang benar seperti olahraga akan menimbulkan perpecahan dalam sistem sosial. Ini memunculkan sikap bermalas-malasan bagi pemuda kita yang berdampak pada rendahnya kekuatan komunal di antara masyarakat dengan pemerintah.
Betapa penting dan berharga olahraga yang bermanfaat besar bagi kesehat
an produksi masyarakat Blora.
Olahraga juga dapat mencegah timbulnya penyakit di dalam tubuh. Menurut hasil riset pemerintah Singapura, orang bermain bola dapat menghilangkan pikiran-pikiran negatif, terutama pikiran tentang seks.
Di samping itu juga dapat melenturkan otot-otot tubuh, menguatkan fisik dan stamina kita, sekaligus mencegah penyakit sesak napas pada hari tua.
Kulturgebundenheit
Maka kehadiran solidaritas kultural dari ajang pertandingan sepakbola antardesa dan kecamatan di Blora akan memberikan kulturgebundenheit atau tarik-menarik kepentingan banyak hal.
Ini akan memberikan keuntungan di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya Blora. Sebab dengan penyelenggaraan turnamen sepak bola banyak mendatangkan orang dan memberikan hiburan sekaligus manfaat kearifan lokal di Blora dalam ranah membangun semangat kebersamaan horizontal.
Keberadaannya akan menjadi pengobat rindu akan para pemuda Blora yang berlari di tanah lapang dengan menggiring dan menendang bola. Agar mereka menjadi pemuda yang kuat, sehat, tangguh dalam arena pertandingan dan di masyarakatnya.
Maka proses pendewasaan diri dan politik pembangunan demokratisasi akan terserap dalam benak masyarakat Blora! (80)
— Yudi Noor Hadiyanto, warga Blora pecinta bola
07 Mei 2009 Selengkapnya...