Jumat, 31 Juli 2009

Menyemarakkan (Lagi) Sepak Bola Blora

WACANA

PADA era 1990-an apresiasi pemuda di Blora terhadap sepak bola sangat tinggi. Mereka aktif main bola di masing-masing desa setiap sore. Lapangan penuh dengan riuh para pemuda yang memainkan dan menonton si kulit bundar. Penontonnya pun dari berbagai jenis dan usia.

Pertandingan demi pertandingan dari mulai antardesa sampai antarkecamatan menjadi kompetisi antarwarga. Gerak semangat sorak-sorai suporter yang melibatkan perangkat desa dan masyarakatnya menjadi sebuah kekuatan sosial yang harmonis.

Ini dapat dijadikan alat untuk saling silatur rahmi dan membantu satu dengan yang lainnya. Juga, menumbuhkan semangat patriotisme dan “nasionalisme” terhadap tanah kelahirannya dan bahu-membahu dalam kerukunan antarwarga.

Pada 1994 ada sebuah turnamen bola yang diadakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora. Pertama-tama Pemkab berkoordinasi dengan kecamatan-kecamatan di Blora.
Setelah fixed, para camat menginstruksikan masing-masing desa untuk mengikuti turnamen antardesa sekecamatan. Setelah seleksi di tingkat kecamatan selesai, desa yang menang mewakili kecamatan.

Lalu digelarlah turnamen antarkecamatan. Pada waktu itu partai final dimainkan di stadion sepak bola milik Perusahaan Organda (PO) Agung di Kecamatan Jepon. Pemenangnya adalah tim dari Desa Kemiri, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora dengan hadiah 2 ekor kambing.

Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi tim pemenang. Ini tak lepas dari nilai-nilai kebersamaan antar pemain dan supporter yang menjadi syarat sebuah pertandingan bisa meriah dan mendapat kemenangan dengan penuh sportivitas.

Sekaligus akan menghangatkan hubungan kekerabatan antara warga desa satu dengan yang lain.
Manfaat lain adalah para pemain dapat mengembangkan dirinya untuk melepaskan ego pribadinya menjadi satu kekuatan dalam tim, yang menuntut kerjasama saling melengkapi satu sama lain.

Pembicaraan dari mulut ke mulut di warung-warung makan akan hiruk-pikuk atlet-atlet sepak bola Blora pun menjadi isu yang hangat di masyarakat desa. Hal ini “memaksa” para pelatih masing-masing desa untuk menguras otaknya agar menyusun strategi pemenangan tim.
Kekuatan Kultural
Basis kekuatan kultur bola Blora memang sudah tampak, terlihat dari 271 desa dan 24 kelurahan di Blora, hampir semua memiliki lapangan bola. Sayang, kondisinya sekarang memprihatinkan dan miskin peminat.

Para pemuda sebagai tulang punggung kualitas suatu generasi cenderung apatis untuk berolah raga. Mereka telah terhipnotis dengan konstruksi yang dibangun media tentang sepak bola itu sendiri.

Bahwa bola hanya sebagai tontonan yang menafikan nila-nilai kekuatan kulturnya. Apalagi sebagian tayangan pilihan pertandingan bola sengaja diperjualbelikan untuk ditonton bagi yang mampu.

Tak urung bola hanya tinggal nilai-nilai kapitalis yang semakin menempatkan masyarakat hanya sebagai konsumen (tayangan) bola. Padahal seharusnya menjadi warga bola yang mampu mengambil manfaat pertandingan bola demi kerukunan warga sekaligus hiburan.

Satu dasawarsa terakhir ini dapat saya rasakan bahwa fungsi lapangan sepak bola di penjuru pelosok desa di Blora telah mati suri. Hal tersebut menjadi keprihatinan bersama sebagai warga, aparat pemerintah, lebih-lebih pemuda Blora untuk menumbuhkan kembali ruh budaya olahraga di tengah masyarakat.

Dampak sosial lain yang terjadi dari kapitalisasi bola yang masuk ke desa adalah hilangnya nilai-nilai humanisme yang ada dalam masyarakat.

Konflik sosial baik antarwarga maupun antarkampung akibat tidak tersalurkan kepada yang benar seperti olahraga akan menimbulkan perpecahan dalam sistem sosial. Ini memunculkan sikap bermalas-malasan bagi pemuda kita yang berdampak pada rendahnya kekuatan komunal di antara masyarakat dengan pemerintah.

Betapa penting dan berharga olahraga yang bermanfaat besar bagi kesehat
an produksi masyarakat Blora.

Olahraga juga dapat mencegah timbulnya penyakit di dalam tubuh. Menurut hasil riset pemerintah Singapura, orang bermain bola dapat menghilangkan pikiran-pikiran negatif, terutama pikiran tentang seks.

Di samping itu juga dapat melenturkan otot-otot tubuh, menguatkan fisik dan stamina kita, sekaligus mencegah penyakit sesak napas pada hari tua.
Kulturgebundenheit
Maka kehadiran solidaritas kultural dari ajang pertandingan sepakbola antardesa dan kecamatan di Blora akan memberikan kulturgebundenheit atau tarik-menarik kepentingan banyak hal.

Ini akan memberikan keuntungan di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya Blora. Sebab dengan penyelenggaraan turnamen sepak bola banyak mendatangkan orang dan memberikan hiburan sekaligus manfaat kearifan lokal di Blora dalam ranah membangun semangat kebersamaan horizontal.

Keberadaannya akan menjadi pengobat rindu akan para pemuda Blora yang berlari di tanah lapang dengan menggiring dan menendang bola. Agar mereka menjadi pemuda yang kuat, sehat, tangguh dalam arena pertandingan dan di masyarakatnya.

Maka proses pendewasaan diri dan politik pembangunan demokratisasi akan terserap dalam benak masyarakat Blora! (80)

— Yudi Noor Hadiyanto, warga Blora pecinta bola

07 Mei 2009
Selengkapnya...

Berburu Jati Pendhem di Blora

Wacana

BLORA sebagai ikon kabupaten penghasil jati terbaik di tingkat nasional maupun internasional memiliki sejarah panjang tentang legenda pohon jati.


Wilayah yang dikelilingi Kabupaten Bojonegoro, Ngawi (Jatim), Rembang, Pati, dan Grobogan (Jateng) itu telah menjadi magnet (pusat) perhatian dunia akan keberadaan pohon jati dengan beribu kisahnya.

Peristiwa beratmosfernya alam raya karena ulah para pendahulu atas perilaku pembalakan hutan yang rindang nan rimbun hijau, kini hanya memberikan penghasilan yang nilainya jutaan rupiah bagi petani di pedalaman pinggiran hutan Blora.

Bagaimana tidak? Pohon jati yang dulunya ditebangi oleh para penjarah, tumbang akibat dari banjir, angin ribut, ataupun tanah longsor, saat musim hujan telah terkubur di dalam tanah sampai kedalaman tujuh hingga sepuluh meter.

Historisitas pohon-pohon jati yang tumbang tersebut mengikuti deras arus banjir dari sungai ke waduk dan menghilang ditelan lumpur sungai. Kini, masyarakat Blora mengenalnya dengan nama kayu pendhem.

Lokasi letak dan tempat jati/ kayu pendhem itu sulit diketahui keberadaaannya. Kalau mencarinya, memerlukan kejelian, ketelitian, dan kewaspadaan karena penuh tantangan. Hal tersebut disebabkan oleh karena Blora yang luas hutannya mencapai 16.086,35 hektare menimbulkan hasrat ingin tahu yang luar biasa bagi sebagian besar masyarakat untuk berburu kayu pendhem.

Harapan besar akan keuntungan yang memberikan nilai materi menjadi spirit para pencarinya. Ibarat harta karun, keberadaan jati pendhem yang diambil masyarakat Blora dari waktu kewaktu seolah-olah tak pernah habis.

Sejengkal tanah di pinggiran hutan atau di dasar sungai menyiratkan pertanyaan penuh curiga para petani untuk meneliti keberadaan tanahnya, apakah benar-benar ada jati pendhem-nya atau tidak.

Metode yang dilakukan dalam pencarian jati pendhem pun sangat sederhana; yaitu dengan menggunakan perangkat alat cis dari bahan baja bermata bor, dengan panjang lima sampai sepuluh meter.

Apabila mata bor tersebut menyentuh benda keras, seketika itu pula besi diputar-putar. Setelah baja dicabut dari dalam tanah, dapat diketahui apakah benda keras itu kayu atau bukan.

Jika lubang di ujung baja ada serbuk kayu, pasti ada kayu di dalamnya. Untuk lebih mengetahui seberapa besar kayu di dalam tanah, para pencari kayu pendhem kemudian menancapkan beberapa cis dari baja tersebut pada titik yang berbeda. Setelah yakin bahwa kayu jati yang diperoleh cukup besar, para pekerja segera melakukan penggalian tanah. Maka, cangkul, sekop, linggis, dan derek, menjadi pelengkap alat penggali sekaligus pengangkat kayu.

Di lokasi tanah pinggiran hutan sekitar Desa Buloh, Kunduran (bagian barat Kabupaten Blora), Banjarrejo, sampai wilayah KPH Randublatung (bagian timur-selatan Kabupaten Blora), Cepu, dan sepanjang sungai Lusi sampai Waduk Greneng, Desa Greneng, Kecamatan Tunjungan, banyak sekali petani memperoleh kayu. Mereka bekerja secara gotong-royong, yaitu berkelompok enam sampai tujuh orang per kelompoknya.

Dengan berkelompok, selama sepuluh sampai tiga puluh hari para petani akan menelusuri pinggiran hutan dengan teliti. Setelah proses penelitian dilakukan dan yakin ada kayu di dalamnya, maka dilakukan penggalian. Tak jarang dalam penggalian mereka menemukan uang yang terbuat dari kuningan bertuliskan huruf Jawa dan angka 1070.

Keuntungan Ekonomis

Pekerjaan pencarian jati tak bertuan yang terkubur ratusan tahun itu, adalah kerja sampingan para petani Blora ketika lahan sawah kering. Asas manfaat bagi pertumbuhan ekonomi rakyat Blora sangat signifikan. Lebih-lebih bagi kaum petani pedesaaan yang mengandalkan sawah tadah hujan. Ketika lahan sawah kering dan kesulitan air di musim kemarau, maka yang dikerjakan para petani adalah berburu jati pendhem.

Hasil kayu yang ditemukan pun bervariasi. Mulai yang berdiameter 20 sentimeter dan panjang lima meter hingga yang berdiameter 115 sentimeter dan panjang 25 meter. Harganya dapat Rp 5.000.000 sampai Rp 12.000.000.

Kini sudah saatnya pihak-pihak yang berkompenten dengan industri kayu memberdayakan masyarakat Blora. Para pengusaha furnitur yang bergabung dalam International Furniture and Craft Fair Indonesia (IFINA) bisa memperkuat sumber daya pemuda lokal Blora untuk dijadikan pengrajin yang nantinya akan menjadi energi kekuatan produksi di dunia industri yang bahan bakunya dari kayu jati. Begitu pula mereka yang mempuyai kepentingan dengan dunia permeubelan yang bergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo).

Komitmen pemerintah sudah jelas, harus menjadikan kabupaten itu mendayagunakan dan melanggengkan daerahnya menjadi penghasil jati terbesar tingkat nasional. Slogan “Blora kutha jati, ayo tro pada makarti” (Blora kota jati, ayo teman kita harus semangat bekerja) telah menjadi spirit kerja dan kesadaran baru di tengah masyarakat.

Mereka sudah sadar, betapa bernilainya hutan dan pohon jati yang telah mengubah cara berpikir para pembalak liar menjadi pencinta pohon jati demi hari depan anak cucu mereka.

Masa depan Blora saat ini adalah penghasilan kayu pendhem, perluasan hutan jati di hutan yang kosong akibat illegal loging, serta studi khusus tentang kehutanan dan jati. Bisa kita saksikan dan rasakan, Blora yang dulu panas karena kegersangan dan tandus, kini tiap-tiap desanya telah menjadi hijau. Tanah tegalan di desa-desa dan kecamatan telah menjadi pertumbuhan jati.

Seolah masyarakat berlomba-lomba menanam pohon jati di tanah tegalannya. Pohon jati tersebut adalah merupakan investasi jangka panjang bagi masa depan kekuatan ekonomi masyarakat Blora. Tinggal bagaimana pemerintah mengelolanya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan, kesejahateraan, dan kemajuan bersama warganya.(68)

– Yudi Noor Hidayanto, warga Blora bergelar Sarjana Filsafat Islam, dan pegiat Teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN, Walisongo Semarang.
11 Desember 2008
Selengkapnya...

Menelisik Perjalanan Batin Iwan Fals


Iwan Fals adalah salah satu pahlawan asia yang tidak bisa dari narasi besar sejarah kebudayaan bangsa Indonesia. kehadirannya sebagai sang kritikus sosial ditengah miskinnya kebersamaan horisontal ditengah bangsa yang sedang di landa krisis besar akan memberikan revolusi cinta yang mendasar, menyeluruh dan spekulatif.Membaca buku ini seperti mendengarkan musik Jazz di pesantren salafiah. Sebuah adonan yang tidak mungkin bagi anda-anda pecinta kebijaksanaan (wisdom). Dari sinilah pembaca akan menemukan dan menguak misteri yang selama ini tertutup oleh publik, akan karya-karya besar Iwan Fals.!@ Selengkapnya...

Kesenian Rakyat Mengolah Buah Seni Rakyat Blora

Selasa, 7 Juli 2009 | 13:38 WIB

Akhir-akhir ini di Blora terdapat cerita yang amat menarik untuk diikuti siapa saja. Kisah itu adalah penyatuan seni barong, reog, dan ketoprak oleh personel kelompok seni barong Gembong Amijaya Dukuh Ngriking, Kemiri, Kunduran, Blora, yang di tampilkan dalam satu panggung episode pementasan.

Dengan tata cahaya seadanya, pentas seni ini diawali gerakan tarian indah dari aura keperkasaan singa raksasa yang dilengkapi dengan aktor pembantu "penthul". Dalam literatur sejarah seni rakyat Blora, para penthul itu bernama Bujangganong/Pujonggo Anom, Joko Lodro/Gendruwo, dan pasukan berkuda/Reog Noyontoko Untub.

Dilanjutkan dengan tarian reog dan jaran kepang, adegan langsung memasuki alur cerita ketoprak. Cerita ketoprak yang hadir pun merangkum implikasi-historis legenda (pendahulu) Blora. Misalnya, cerita tentang Kerajaan Mataram di bawah Paku Buwana yang sedang terjadi pemberontakan dipimpin Mangku Bumi dan Mas Sahid.

Cerita semacam ini di zaman sekarang amat jarang di tengah-tengah kita. Lebih-lebih cerita itu dilakukan kelompok sosial masyarakat yang termarjinalkan dari peradaban modern, yang terletak di pelosok pinggiran hutan Blora dengan mayoritas sebagai petani. Namun, karena kecintaan masyarakat Dukuh Ngriking terhadap seni amat tinggi, beban yang semula dipandang berat menjadi ringan. Kecintaan itu didasari keyakinan masyarakat setempat yang memandang penghormatan terhadap ajaran adat Jawa.

Hal ini sesuai sekali dengan apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, "Kalau orang tidak tahu sejarah, ia tidak akan paham masa kini, apalagi masa depan. Semua kesalahan yang kita lakukan selama ini terjadi karena kita tidak tahu sejarah."

Maka, di tengah kerapuhan semangat kebersamaan dan pandangan positivisme yang terjadi di lingkungan kita, kita dapat mengambil intisari nilai dalam tradisi seni yang dieksplorasi masyarakat Dukuh Ngriking. Nilai-nilai tersebut yang terdapat dalam karakteristik maupun sifat dari adegan pagelaran barongan, reog, dan ketoprak spontanitas, keras, lembut, dan kritis.

Spirit semacam ini harus ditumbuhkembangkan di tengah-tengah kita agar dialektika humanisme sosial selalu tumbuh menjadikan aktualisasi diri dalam menghadapi hari-hari penuh tantangan pada bangsa yang sedang dilanda krisis ini.

Belajar dari tradisi lokal dari komunitas kecil seni rakyat yang sangat produktif ini hendaknya didukung pemerintah dengan mengemas seni tradisi dalam term cara pandang seni modern.

YUDI NOOR HADIYANTO Warga Blora, mantan anggota Teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Selengkapnya...

Sajak-Sajak Yudi Noor Hadiyanto

Harmoni Kata


Sudah lama aku tak menulis puisi
Kini aku mencobanya membentuk kata demi kata
Menundukkan tiap kejadian yang kadang menggelisahkan jiwa
Dari hembusan cahaya, angin, api dan udara
Yang dihantarkan garis, lingkar, lekuk, cantik dan kelokan sastra

Sudah lama aku tak menulis puisi
Jika kau masih ingat padaku wahai kata
Tahukah kamu aku tak kuasa untuk berkata padamu
Bagaimana cara membaca keadaan
Sedang aku tak tahu seberapa dahsyat pengaruh homogen canda katamu ini


Sudah lama aku tak menulis puisi
Terlelap diantara puing-puing gelegar mantra pujangga
Mencari-cari lagi dari akar A sampai Z
Dari timur sampai barat
Dari utara sampai selatan
Dari mata sampai lubang mata hati

Entah seberapa besar linglung puisiku ini terhentak
Diantara belantara muka-muka muram
Yang terkoyak api asmara sumur air mata
Dan yang ku tahu hanya
Ingin jatuh cinta lagi pada harmoni kata.
Sajak 1

Andai kau masih usang untuk mengatakan beribu gundah yang terlahir dari kilatan gejolak hatimu. Aku ingin sekali bersamamu melakukan sejarah besar dalam hidup kita. Nyanyian awan para penindas yang lapar akan kekaparan para pengabdi terus meneror kita. Cantik istriku, maukah kita saat ini terbang diantara telaga cinta. Menorehkan dupa cendana yang malang melintang bertebaran melintasi kilatan halilintar gunung gerhana. Lalu ditempat itu juga kau dan aku akan mendapatkan seutas rangkaian kata yang telah lama kau idamkan sejak lahir. Kata itu telah lama sekali kau tambatkan dalam pusaran sanubariku. Dan kini pada saat kita berada dipuncaknya, kau menjeritkan kata itu saat aku mengecup lembut hatimu.

Sajak 2

Suara yang keluar dari bibirmu itu sungguh sangat besar sekali. Sampai seluruh isi semesta tertunduk pada ayunan tubuh kita berdua. Sesekali kau lempar senyum dari manis bibirmu pada bumi yang semakin muram. Bumi lalu mengerutkan keningnya dan membalasnya dengan ejekan ludahnya. Namun dari arah bawah telapak kaki kita. Kuku-kuku raksasa burung mahkota cinta menyelamkan sayapnya. Menyelimuti kita sehingga suara jeritanmu itu tak terdengar lagi haluan nadanya. Saat kita buka mata berdua. Burung cinta itu telah kabur kembali ke angkasa dan kata-kata itu kau ucapkan lagi diatas dipan kamar tidur kita. Dengan lembut kau katakan padaku, aku kata kota cintamu selamanya.

Sajak 3

Kota kata lahir dari aturan untuk menguasai, menindas dan membunuh. Menawarkan ribuan materi yang terjulang diangan dan membanting tulang rusuk penghuninya. Lalu menguburnya diantara congkak bangunan dari cor-coran beton. Dan tak ada lagi daging jasadmu bersama cacing-cacing dan rayap penjual suara. Lalu harga diri berontak tak terarah. Ingin apa-apa tak bisa apa-apa. Tak bisa apa-apa diambang apa-apa. Apa-apa jadi tak lagi memecahkan mantra-mantra gemuruh gelombang dinasti banjir besi tua. Berkarat menanyakan eksistensi pada penghuni kata kota. Dan kata kota tinggal usang diantara puing-puing kerapuhan keluarga babi.

Sajak 4

Babi kota meliuk-liukkan erangannya. Menyerang seluruh negara di lintasan katulistiwa. Membuat dekap jantung para penghuninya meratap, menangis, dan menahan nafas. Virus babi tergeletak diantara kaca-kaca media. Tak terkontrol lagi larinya entah kemana. Dan saat lajunya menuai puncaknya. Matahari perubahan tiba-tiba berubah menjadi laksana dunia tempurung salju. Berderek diantara panasnya salju-salju hitam aspal pemburu roda. Dan terpelenting menohok para penjabat kerajaan hewan. Berpetualang dengan aturan-aturan yang amat mengasikkan. Mereka menjual banci-banci keparat menggoyahkan kekayaan si miskin, dan mengubah kemiskinan si kaya. Ketika gemuruhnya berada diujung jalan. Orang-orang kembali berlomba diarena dunia kelam.
Warna Kosong


Desis angin yang terlupa menghentakkan ketukannya
Berhenti di dalam piringan tanpa bentuk dan rupa
Menanti kekosongan untuk diisi kembali
Sedikit demi sedikit bersemayam didalam lingkarnya

Suara yang tak terdengar lagi gelombang nadanya
Hilang dikesepian mesin penggerak bumi
Muncul kembali usai berganti suaranya
Dan membisikkan pada kita akan hidup

Dan dengarkanlah bait-bait yang muncul dari dalamnya
Ia mencerna dari kesendirian dan keramaian
Dari kemalangan dan kegembiraan
Dari kepahitan dan untaian air mata
Memberikan warna baru diantara bentuk dan suara.

Suaranya terlihat parau sekali
Harmoninya seperti nyanyian bisu ditengah telaga misterius
Mengurangi jumlah bilangan dan kegenapan yang normal
Dan menjamah cintaku yang abadi untukmu.


Sabar

Orang-orang tergesa-gesa sekali makan, buang hajat dan kencing. Mengukur berapa besar jenis makanan yang akan dimasukkan didalam perutnya. Kemudian menimbangnya kembali berapa besar tahi dan air kencing yang mereka buang satu harinya. Tak pernah memikirkan nasib sel-sel darah dan kemarahan lambung pada mulutnya. Seberapa setianya usus-ususnya mengolahnya menjadi tahi dan betapa dia tak mau diapa-apakan. Dia selalu pasrah menuruti perintah penggunanya. Dan tak pernah mengeluh pada penggunanya. Kamu ini kenapa memperlakukanku sebegitu kerasnya? Kata tenggorokan pada otaknya. Otak menjawab, aku suka sekali dengan kerakusan dan tak dapat lagi menahan nafsu dan amarah apalagi kesabaran.


Rentetan Kiasan Kata: Sebuah Sajak untuk ibu pertiwi
Batang;
Bunga madu diatas jerami
Terselip rindu rumput
Terhisap langit
Memandu perjalanan luka
Tubuh terkapar lumpur kering
Dan memanjakan riak tawa
Anak-anak di sirip peradaban
Tubuh;
Anak-anak menjerit
Dari dalam goa tikus
Menelusir lorong gelap
Berbau amis
Jipratan merapi pasir besi
Menempel ditelinganya
Dan menghukum dirinya
Di kedalaman bumi lebih dalam
Akar;
Suara kecil
Mencekik tulang tua rapuh
Hancur berdebu putih kecoklatan
Menutupi bening matanya yang bersih
Dan menjadikan nama jahat
Diatas kain kafan ia masuk disungai bumi
Terus berenang diantara laju air
Berputar mengelilingi dalam sungai bumi sepanjang masa



Diatas Bukit Ngaliyan, 26 Mei 2009
Yudi Noor Hadiyanto adalah pecinta sastra, berkesenian mulai di teater metafisis Semarang, penulis novel Tempurung Salju, dan kini dia tukang penggesek biola di kafe-kafe.
Selengkapnya...

Menjaga Stabilitas Ekonomi Rakyat Di Musim Kemarau

Oleh Yudi Noor Hadiyanto

Musim kemarau kini telah tiba dengan menunjukkan tanda-tanda akan terjadinya kekeringan di beberapa daerah. Apabila musim ini berjalan lama, maka perekonomian rakyat kecil terutama petani akan terancam lumpuh. Indikasinya lahan pertanian mengalami kekeringan dan petani hanya bisa gigit jari dimasing-masing rumahnya. Karena tidak bisa memanfaatkan lahannya secara maksimal. Jika hal ini terjadi, maka indeks angka penduduk miskin akan bertambah pesat dimusim kemarau.
Seperti yang dituliskan media ini, gejala kekeringan itu antara lain sudah melanda 14 kabupaten/kota di propinsi Jawa Tengah terjadi rawan krisis air bersih. Daerah yang rawan kekeringan tersebut yakni Boyolali, Wonogiri, Kebumen, Magelang, Purworejo, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Kendal, Purwodadi, Kota Semarang, Brebes, dan Tegal. (Suara Merdeka, 6/6).
Masyarakat di daerah yang kekurangan air seperti yang disebutkan di atas, sangat cemas dengan anggapan bahwa musim kemarau ini akan berjalan lama. Selain menghentikan roda produksi pertanian, juga akan berimplikasi pada suramnya perekonomian nasional, buruknya kesehatan, dan semakin mahalnya jangkauan pembelian bahan kebutuhan pokok masyarakat.
Tesis diatas beradu dalam teori ekonomi yang mengatakan, ketika lahan produksi sudah tidak bisa digunakan lagi, maka stok semakin berkurang, sedangkan kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi bahkan meningkat dan harga barang-barang kebutuhan masyarakat akan semakin mahal untuk di jangkau. Melihat kondisi ini, apa yang harus dilakukan pemerintah, dan bagaimana cara menanggulanginya?
Banjir VS Kemarau
Korban pertama dalam setiap musim kemarau jelas adalah rakyat miskin (petani). Sebab, lahan mereka sudah tidak bisa digarap lagi. Kedua adalah kalangan pengusaha kelas menengah yang proses produksi usahanya menggunakan air. Ketiga, adalah kita semuanya pembaca Koran Suara Merdeka yang hidup dibumi Indonesia.
Terhambatnya kerja-kerja masyarakat luas untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keuarga, akhirnya lari untuk mencari air yang harus digunakan untuk hidup mereka sehari-hari. Air sebagai kebutuhan primer manusia menjadi amat penting dan lebih berharga disaat musim kemarau seperti sekarang ini. Sehingga proses produktifitas kinerja rakyat akan terhambat.
Faktor-faktor lain penyebab kekeringan, sama halnya seperti faktor penyebab terjadinya banjir. Keduanya berperilaku diatas jalan linier dependent. Yaitu bersatunya semua faktor yang menyebabkan kekeringan dan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah kekeringan, maka akan semakin besar pula banjir yang akan menyusul, dan sebaliknya.
Dalam pandangan Novitasari MT (2006), disebutkan bahwa penyebab utama terjadinya kekeringan dan banjir adalah perubahan kawasan hutan di hulu-hilir air yang sebelumnya merupakan daerah resapan air menjadi lahan permukiman, industri, dan pertambangan. Bahkan lahan-lahan itu sekarang sudah menjadi hutan yang gundul.
Akibatnya, air hujan yang jatuh langsung mengalir ke sungai, bukan masuk ke dalam tanah. Berkurangnya daerah resapan air ini mengakibatkan pada musim kemarau aliran air dalam tanah berkurang, sehingga berpengaruh pada sistem jaringan sungai. Sedangkan pada musim hujan akan terjadi banjir karena kurangnya lahan peresap air.
Hutan yang dijadikan lahan industri disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Modernisasi dan globalisasi yang ditandai adanya industrialisasi pun telah memunculkan permasalahan baru. Sebab, dalam dunia industri kita yang paling diutamakan adalah keuntungan sesaat. Bukannya berfikir dampak lingkungannya dalam waktu jangka panjang.
Seperti yang ditulis Willy (2008), Indonesia sebagaimana yang tercatat dalam buku rekor dunia, Guiness Book, termasuk dalam negara dengan tingkat penghancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90 persen dari sisa hutan dunia. Daam setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72 % dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, dan penebangan komersial. Di samping itu, pembukaan areal untuk perumahan dan industri ikut berperan dalam mengurangi wilayah resapan air.
Realisasinya
Rusaknya hutan yang berdampak kurangnya air menuntut tanggungjawab kita bersama untuk mengembalikan hutan-hutan seperti semula. Komitmen pemerintah, para pengusaha, masyarakat dan seluruh elemen bangsa adalah satu rangkaian “kesadaran bersama” tentang pentingnya menghargai pohon, menanam, dan merawatnya serta menjaga kelestariannya sampai kapan pun.
Selanjutnya langkah tepat yang memungkinkan logis untuk kita kerjakan dalam waktu dekat adalah mengelola risiko kekeringan dengan penghematan air di kala kekurangan dan penyimpanan air di kala berlebihan. Dua aktivitas ini adalah merupakan tindakan konservasi air, yakni aktivitas penghematan penggunaan air.
Hal itu bisa dilakukan dengan memperbanyak embung, cekdam, sumur resapan dan terasering. Yang bermanfaat untuk menghambat aliran air hujan dari hulu ke hilir, disertai dengan penyebaran seluas-luasnya ke dalam tanah. Dengan begitu air akan tersimpan disekitar rumah kita. Dan kita tidak kesulitan untuk mendapatkan air ketika musim kemarau telah tiba.
Dengan demikian saat musim kemarau telah tiba, kita tidak kesulitan mendapatkan air, proses berproduksi untuk melanjutkan pekerjaan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga pun tanpa khawatir dengan adanya kekeringan.
Akhirnya ketakutan angka kemiskinan, dan keterpurukan dibidang lain pun dapat di minimalisir. Hal ini harus didukung pemerintah 100 % (seratus persen), rakyat mendambakan roda perekonomian akan tetap terjaga dalam kondisi medan apa pun, terutama yang tertuang dalam filsafat gemahripahlohjinawi toto tentrem kartaning raharjo.

Yudi Noor Hadiyanto, Staf Peneliti Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) Semarang.
Selengkapnya...

Bercermin Dari (Artefak) Sumur Sendang

O L E H Y U D I N O O R H A D I Y A N T O
Sumur Sendang adalah satu-satunya sumber mata air di pedesaan masyarakat Jawa Tengah yang dapat memberikan kebutuhan air untuk keluar dari satu Dukuh maupun Desa. Secara geografis, sumur ini berada dipinggiran Dukuh yang disamping sumurnya terdapat pohon Beringin dan Bambu berjajar tapal batas suatu Desa/Dukuh.
Secara kultural, di era 1980-an mayoritas Sumur Sendang memiliki kaidah makna nilai yang sangat tinggi bagi masyarakat dalam menjalankan roda kehidupannya sehari-hari. Baik untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, maupun untuk pertanian. Beraneka metode telah dilakukan oleh masyarakat di daerah yang memiliki sumberdaya air dengan melakukan penjagaan dan pengelolaan secara konvensional.
Teori lama semacam ini memberikan definisi obyektif bahwa masyarakat masih hidup dalam sebuah sistem yang tertata, teratur, tertib, dan berada dalam satu lingkaran diri dari satu prinsip kebudayaan. Yaitu kentalnya ikatan silaturrahmi dan kekerabatan antar warga satu dengan tetangganya dalam ikatan tali jaminan spiritual. Masyarakat masih punya tata konsep etika yang relatif sama tentang Sopan-santun, Unggah-ungguh, dan Toleransi. Inilah ajaran Adiluhung Leluhur yang menjadi Diri yang memiliki Jati.
Sumber Bahasa Agung Airnya
Jujur saya sangat merasakan kesejukan air dan rindangnya pohon saat mengambil air di Sumur Sendang saat kecil. Airnya tidak berbau dan tidak berasa. Memberi kesan bahwa air dari Sumur Sendang amat pas sekali digunakan untuk minum, memasak, dan juga memandikan dan minum makan ternak. Baik itu disaat musim Kemarau maupun musim Hujan. Intinya dalam segala Cuaca dan Musim, sumur ini selalu mengeluarkan sumber “mata air” yang dapat di handalkan di pedesaan.
Sumur ini juga sangat di sakralkan oleh masyarakat Jawa. Pohon Beringin didekatnya selalu memberikan kesan mitos ditengah masyarakat akan penghormatan terhadap pohon-pohon besar yang tua usianya.
Kalau kita telisiki lebih jauh, ternyata faktor lancarnya sumber “mata air” itu akibat masih terdapatnya pohon Beringin dan Bambu disekitarnya. Dari cengkraman akarnya yang lebat didalam struktur tanah, dapat menyimpan kadar air lebih besar. Disamping faktor keberadaan hutan di sekitar desa-desa di Jawa Tengah masih labil dan belum rusak.
Dengan bersatunya unsur alam yang seimbang, kadar oksigen dari dalam udara yang muncul dari mulut daun dari rindangnya pepohonan pun masih bersih dan segar untuk di konsumsi. Udara yang segar ini memberikan “suplemen” atau nutrisi dalam tubuh, untuk jauh dari serangan virus-virus penyakit didalam tubuh kita. Dan memperlancar kinerja sel-sel tubuh dalam proses reproduksi kerja masyarakat yang sehat jasmaninya.
Sumur Yang Merana
Sejarah selalu memberikan guru terbaik bagi kita semuanya di saat ini. Sejarah tak pernah berbohong untuk menunjukkan eksistensi kebenarannya. Ia meruang diantara bergulirnya waktu dan selalu akan menjadi kisah abadi untuk kita jadikan cermin diri dan Kompas petunjuk bagi masa depan.
Kalau kita simak dan tengok di sekeliling lingkungan kita saat ini, secara demografis maupun geografis. Maka terlihat jelas, Sumur Sendang ingin menunjukkan asas manfaat pada warga masyarakat pedesaan saat sedang di landa kekeringan. Historisitas-implikasi dalam fenomena konteks sekarang adalah kesulitan mencari air dan merasakan udara panas disiang hari dan udara yang amat dingin sekali dimalam hari.
Hilangnya sumber mata air Sumur Sendang menunjukkan bahwa ekosistem di lingkungan alam kita memang tidak standar dan berimbang. Yaitu hilangnya sumber mata air dan parahnya kualitas udara yang kita hirup dari paru-paru kita setiap hari. Mengapa demikian?
Karena air Hujan yang jatuh langsung mengalir ke Sungai, bukan masuk ke dalam tanah. Berkurangnya daerah resapan air ini mengakibatkan pada saat datangnya musim Kemarau aliran air dalam tanah menjadi berkurang. Sehingga berpengaruh pada sistem jaringan sungai, dan hilangnya mata air. Pepohonan di hutan yang dapat menyimpan kadar air tinggi juga menjadi faktor pemanasan udara. Termasuk musnahnya sebagian besar keberadaan Sumur Sendang yang kini merana dilingkungan kita.
Perkembangan mutakhir dari majunya Modernisasi, Globalisasi, dan Tehnologi pun melahirkan permasalahan baru bagi kita semuanya. Lebih-lebih dalam dunia industri. Mereka yang masuk dalam sistem kinerjanya masih mengedepankan keuntungan sesaat. Yang lebih mengutamakan logika keuntungan materi yang banyak, dari pada mengatasi bagaimana dampak bagaimana menyeimbangkan keberadaannya terhadap rusaknya alam.
Dari tangan aparat pemerintah, dengan dalih perbaikan lingkungan, proyek-proyek pengembalian hutan pun masih jauh dari implementasinya. Buktinya, sekian tahun kita berjalan dengan gonta-ganti Gubernur dan Presiden, sebagian besar lahan hutan di Jawa Tengah masih kering-kerontang. Hemat saya, dari hilangnya Artefak Sumur Sendang, kita segera berbondong-bondong dengan kesadaran spirit energi kebersamaan horizontal menuju lahan hutan yang tandus menanam, merawat, dan menjaga keberadaan pohon-pohon demi masa depan anak cucu kita!

YUDI NOOR HADIYANTO
Warga Blora, mantan anggota teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Selengkapnya...

Menghidupkan (Kembali) Pramoedya Di Blora

Oleh Yudi Noor Hadiyanto
Salah satu maestro sastra yang melegenda adalah Pramoedya Ananta Toer. Berkat jasanya, ia menjadi catatan (pena cinta) sejarah harumnya nama bangsa Indonesia beraroma sastra sekali. Ketika penduduk bumi bertanya tentang Pahlawan Asia ini? Pastilah orang akan menjawab Blora adalah kota kelahirannya.
Ya, Blora kini menjadi magnet (pusat) keindahan dunia dalam kesusastraan. Pramoedya sebagai aset tak ternilai harganya, telah membuat arah nama Blora menjadi primadona siapa saja.
Hal ini dapat kita lihat dari beragam penghargaan atas karyanya yang pernah di peroleh. Freedom to Write Award dari PEN, Amerika Center, Werheim Award, Belanda, Ramon Magsaysay Award, Philipina, UNESCO Madanjeet Singh Prize, Perancis, Doctor of Humane Letters, Madison AS, Fukuoka Cultural Grand Pirze, Jepang adalah nama-nama lembaga dan negara yang tak bisa dianggap remeh oleh masyarakat dunia.

Karya-karyanya juga menjadi bacaan wajib dikampus-kampus Fakultas Sastra, dan diterjemahkan dalam 36 bahasa. Tak urung Blora seakan menjadi ikon kota sastranya para sastrawan dan cendekiawan.
Prestasi agung yang sulit ditemukan lagi dalam sejarah perhelatan sastra anak manusia di era sekarang, (meng-kudeta) kepada seluruh lapisan masyarakat yang tinggal di Blora. Pokok tuntutan itu berbunyi bagaimana kita menghidupkan kembali ruh yang bersarang dalam benak, kepribadian, karakteristik dalam (Jati Diri) Pramoedya.
Prinsip inilah harusnya kita hadirkan kembali dalam takjub budaya membaca, menulis, sabar, lembut, kritis, jujur, berani berkata benar, dan apa adanya dalam menjalani hidup. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Pramoedya, “bagi pengarang, sebaik-baik sekolahan adalah kehidupan dan modalnya hanya berani bergaul, pergaulan yang disadari, dipilih, dicoba dan dinilai”.

Basis Budaya
Jejak langkah Pramoedya lari dari Blora di teruskan oleh generasi-generasi baru di Blora. Kebiasaan membaca dapat kita lihat dari jumlah novel yang laris-manis ketika di jual di Blora.
Ini menjadi point tersendiri bagi pemerintah dan para pengusaha toko buku untuk memperluas jaringan penjualan bukunya diseluruh pelosok Bora.
Tidak hanya itu, para pemuda-pemudi enerjik, cerdas dan kritis yang begitu sangat mengidolakan Pramodya, kini berdiri dalam garda terdepan membentuk rumah komunitas budaya.
Mereka menuangkan ekspresi dirinya dalam komunitas Sinau, Ngisor Tugu, Supersamin, Mahameru, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blora, dan Lembaga Penelitian Aplikasi dan Wacana (LPAW) Blora.
Saat ini mereka menjadikan rumah Pram di Blora sebagai sebagai cagar budaya sekaligus tempat berkumpul yang berisi kegiatan kebudayaan. Menggalakkan transfromasi dialektika keintelektualan dalam ikatan moral saling asah, asih, dan asuh.
Tiap seminggu sekali diskusi pun diadakan rutin. Baik itu membahas persoalan-persoalan seputar keadaan di Blora dibidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Dari hasil diskusi itu, direalisasikan dalam bentuk kegiatan seperti meruwat dan menelusuri sungai Lusi. Memperingati hari kematian Pram, dan juga mengawal proses reformasi birokrasi didalam sistem pemerintahan Blora sebagai bentuk idealisme dan kritisisme terhadap kebijakan pemerintah.
Ibarat mata uang, rumah Pramodya sekarang dapat digunakan untuk wisata pendidikan. Karena rumah tersebut menjadi salah satu perpustakaan dengan literatur buku terlengkap di Blora.

Training Menulis
Untuk mewujudkan Blora sebagai kota sastra, mestinya seluruh Stake holder pemerintahan Blora dapat membangkitkan tradisi membaca dan menulis ditengah-tengah masyarakat maupun kalangan pendidikan.
Ini dapat dimulai dengan pengaktifan perpustakaan desa yang melibatkan aparat pemerintahan desa yang tersebar di 271 Desa dan 24 kelurahan. Mendirikan penerbitan buku, majalah, Koran, tabloid, buku sejarah Blora.
Kehadiran media akan menambah semaraknya ruang dialketika dan arus informasi dalam transformasi sosial sesama warga.
Dari kalangan pendidikan, mulailah penanaman benih baca-tulis pada guru dan murid yang encer otaknya mencerna materi-materi work shop kepenulisan di sekolah-sekolah di Blora. Baik itu memulai menulis puisi, cerpen, novel, prosa, artikel ilmiah, dan bagaimana menggali ide dalam kepenulisan.
Kita juga masih teringat dengan langkah Pemerintah Papua yang membayar Andrea Hirata penulis novel Laskar Pelangi dengan gaji 50 juta untuk jadi pembicara training menulis novel kepada para pelajar di sana. Uang sebesar itu di nilai sebagai penanaman investasi jangka panjang untuk bekal hidup para pelajar menghadapi hari depan.
Maka, sebagai makhluk sosial, pemerintah Blora harusnya berusaha untuk memperoleh pengakuan yang dicintai dan mencintai sesama manusia oleh publik. Berbagi kebahagiaan, membuat nyaman para warganya di kala sedih, dan meningkatkan taraf hidup warga Blora melalui tulis menulis.
Meminjam istilah Stephen R. Covey dalam The Seven Habits bahwa tingkat paling tertinggi dalam ruang hidup sosial manusia, sesungguhnya bukan berakhir pada kemandirian, namun kesalingtergantungan.
Dengan demikian, dari hadirnya media baru dan work shop training kepenulisan dikalangan pendidik dan aparat pemerintahan desa, akan memicu penulis-penulis baru dan membawa kota Blora lebih maju, unggul, waras, wareg, wasis dan menjadi kota kabupaten sastrawan yang diidolakan manusia penghuni bumi!

Yudi Noor Hadiyanto, warga Blora, Penulis Buku Menelisik Perjalanan Batin Iwan Fals.
Selengkapnya...

GEBIT

OLEH Y U D I N O O R H A D I Y A N T O

Tirtana seluruh badannya dalam serangan penyakit Lame. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali bersuara nada parau tiap menggerakkan dua buah bibirnya yang membusuk berbusa hitam. Denyut jantungnya masih berdetak pelan. Memberikan penanda bahwa dia masih dalam keadaan hidup, dan belum terlepas nyawa dari jasadnya.
Al-kisah kehadiran sakit ini datang dengan tiba-tiba saat Tirtana sedang memasak di dapur rumahnya. Ia merasakan didalam seluruh bagian tubuhnya seperti ada yang menggelitik geli, namun amat menyakitkan. Tubuhnya langsung jatuh pingsan. Mengalami sakit depresi mental dan fisik. Yang mengaksiologikan dirinya berbaring di kamar tidurnya bertahun-tahun.

Tiap ia akan membuang air kecil dan buang air besar, sang suamilah yang membimbingnya untuk membersihkan kotoran yang keluar dari lubang dubur dan serpihan bulu-bulu pada alat kelaminnya. Gebit adalah tipe suami yang tabah, sabar, setia, dan tak pernah putus asa untuk mencarikan obat kesana-kemari demi kesembuhan penyakit yang diderita istrinya.
Usaha Gebit ini patut kita jadikan referensi hidup kita. Pada 4 tahun pertama, ia harus membawa istrinya untuk chek up ke dokter rumah sakit di kota tempat tinggalnya. Kadang saat keadaan kritis menimpa Tirtana, ia rela menunggui istrinya dari pagi, siang, dan malam di kamar rumah sakit. Kemudian berangkat dan pulang dari pekerjaannya kembali menemani istrinya saat rawat inap.
Uang hampir 90 juta rupiah pun sudah pergi dari rekeningnya. Uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit mulai dari awal pernikahan sampai mempunyai anak dua itu digunakan untuk proses penyembuhan penyakit istrinya.
Bayangkan saja. Anak pertama yang bernama Murni sudah kelas 6 SD, dan Sasa sudah kelas 2 SD. Kalau Murni sudah berusia 11 tahun, kurang lebih usia pernikahan mereka mencapai 12 tahun. Karena menurut cerita dari Gebit pada saat hari ulang tahun pernikahannya yang pertama, usia kandungan Tirtana, sudah berusia tiga bulan.
Ini berarti memang Gebit adalah laki-laki disiplin dan irit mengeluarkan uangnya saat dari lajang sampai mempunyai dua orang anak. Hal ini tak lepas dari tempat kelahirannya di Yogyakarta dan kekuatan ketulusan dan keikhlasan cinta dari perempuan kelahiran Pati itu.
***

Perjuangan Gebit dalam menyembuhkan istri tercintanya tak membuat perubahan apa-apa dalam tubuh Tirtana. Penyakit yang diderita bukannya semakin membaik, melainkan bertambah parah. Maklum, di Pare para pakar pelayan kesehatan di kota ini tak mampu menyembuhkan penyakit yang diderita isterinya secara total.
Lihat saja, dari pemeriksaan medis di rumah sakit HVA Hospital, yang hanya menambah rasa perih bagian dalam lambung kiri dan dahi kepala Tirtana. Belum lagi tusukkan paku-paku lancip nan tajam pada bagian otot kedua pertengahan lengan kanan cakra minor titik ketiganya. Yang selalu bergerak mengganggu kinerja sel-sel dan menyebar ke seluruh penjuru pembuluh aliran darahnya.
Bahkan tragedi tragis dahsyat pernah ia alami. Saat itu bundaran matahari akan tenggelam dilangit barat. Dari atas langit tiba-tiba saja melesat 11 butir gelombang pecahan batu rembulan berwarna kuning kemerah-merahan. Cahaya itu bergerak menembus langit-langit kamar dan menelusup kedalam tubuh lunglai Tirtana. Yang mengakibatkan bola matanya jadi melotot menjorok kedepan dua sentimeter, dan suasana tubuhnya yang kejang-kejang. Menegangkan.
Coba saksikan sekarang. Mulut Tirtana tanpa sadar berteriak keras. Hingga gelombang suaranya memadamkan bara api diatap langit-langit kamarnya akibat dari gesekan benda langit dengan genting rumahnya.
“Tolong…Tolong….tolong….! Bantu aku kang…. ? aku diserang….!”
Ini bukanlah serangan bom yang tiba-tiba meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton tempo hari, yang menyebabkan kematian sebangsa anak manusia konon yang tidak berdosa. Melainkan kiriman penyakit yang memang disengaja oleh oknum yang tidak menyukai dengan kehidupan Tirtana dan keluarganya.
Kejadian semacam ini kebanyakan orang menyebutnya dengan serangan “santet”. Tapi aku kurang sepakat dengan definisi itu. Aku lebih menyukainya dengan pengiriman penyakit oleh makhluk manusia yang bersekongkol dengan Setan dan Jin. Aktor itu bisa disebut dengan dukun, orang pintar, maupun istilah sebutan orang yang tahu mengenai seluk beluk mengenai hukum, etika, dan tatanan nilai dalam pertarungan kehidupan dunia kosmos dan metafisika.
Walhasil. Serangan itu membuat kalut Gebit dan kedua anaknya. Ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan orang pintar, amanat bisikan dari istrinya. Maka, konsekuensi logisnya, ia berpamitan pada kedua anak istrinya untuk pergi mencari orang pintar.
***
Sebulan sudah Gebit mencari orang yang pas dan cocok untuk menyembuhkan penyakit istrinya. Namun belum ketemu sama orangnya. Karena dalam keyakinannya; “mencari obat orang terkena penyakit kiriman semacam ini membutuhkan jodoh orang yang ditentukan Tuhan dalam proses kesembuhan penyakit isterinya”.
Dan semua energi dalam usaha ia kerahkan. Mulai menjual tanah warisan dari orang tuanya yang berada di kampung halamannya Yogja, sampai menjual kendaraan roda dua yang ia miliki. Uangnya ia gunakan untuk menempuh perjalanan ke gunung Kelud. Sebab, konon di Desa bawah Gunung itu ada orang pintar yang sudah teruji kemampuannya dalam menyembuhkan penyakit-penyakit semacam ini.
Sesampainya disana, Gebit tidak menemukan apa-apa. Hampir saja dia putus asa, karena yang ditemukan disana hanya puing-puing bangunan yang runtuh. Semacam bangunan pada masa zaman sejarah pada era Megalitikum.
Namun, keadaan sedikit ada kejelasan titik terangnya. Saat petang perjalanan kembali ke rumahnya. Gebit tertidur diatas batu besar tanah tegalan. Dia bermimpi bertemu tiga pemuda sedang bermeditasi diatas awang-awang. Ketiga pemuda itu terlihat duduk bersila membentuk sebuah lingkaran. Cakra-cakranya menyatu dengan masing-masing simbolitas warna Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Putih (MEJIKUHIBINIPU).
Perputaran cakra-cakra itu seperti arah jarum jam. Penanda kebangkitan pelangi Kundalini mengalir dari cakra –7 sampai +7. Gumpalan tenaganya melandas cepat keatas puncak langit sembilan, lalu flash back pada titik tengah pusat gabungan cakra tempat mereka duduk bersila.
Gebit tersentak kaget bukan main. Sampai nafasnya terengah-engah. Matanya berkedip cepat-kilat seperti tak percaya dengan kejadian yang di alaminya. Keadaan ini semacam puncak kesadaran yang tersandar diantara alam nyata dan tidak nyata. Hal ini membawanya pada tabung isi pesan dalam mimpinya?
Dan pergilah dia menuju tanah perbukitan lereng Gunung Kelud. Dengan hati was-was, Gebit melangkahkan kakinya menuju ke puncak Gunung. Sesampainya di puncak ketiga (air tiga rasa). Pandangan matanya tertuju pada bangunan Padepokan. Dia berdiri lama. Termangu. Mengangan-angan. Namun, tanpa diduga. Tiga telapak tangan menepuk punggungnya dari arah belakang. Kejadian ini membuat dia kaget dan membuat jantungnya berdetak kencang. Sehingga ujung ubun-ubunnya jadi merinding dan tak berani menolehkan kepalanya ke arah belakang.
Suasana ini makin menegangkan sekali. Saat kedua kelopak matanya terbuka. Gebit sudah berada ditengah-tengah Padepokan Atma Yoga (PAY). Padepokan itu bangunannya terbuat dari kayu Diospyris Macrophllanya berlantaikan hitam batu marmer. Kanan kiri bangunannya adalah hutan rimba dari pohon Phoeniz Dactylifera. Dan dengan wajah terbata-bata, dia menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya pada ketiga sosok penuh wibawa itu.
***
Ketiga pesakti yang membawa Gebit kembali ke rumahnya adalah para pendekar tenaga dalam aliran Radiasi Tenaga Dalam (RTD). Dalam terminologi literatur sejarahnya, golongan ini melatih dirinya dengan gerakan dasar Atma Yoga sebagai proses pengeluaran energi negatif didalam tubuh dan memasukkan energi positif dari alam dengan jurus-jurus RTD. Dengan rangkaian pengaktifan masing-masing cakra dan visualisasi penghubungan dari unsur alam tanah, air, api dan udara, mereka memulai proses penyembuhannya.
Gebit dan kedua anaknya terbengong dalam alunan do’a. Sementara ketiga pendekar itu membimbing Tirtana untuk rileks dan merebahkan badannya ke arah kiblat. Jantung ketiganya diikat dengan tali pita merah ke aarah jantung Tirtana, menciptakan bola warna kuning emas disekeliling kamar.
Bola emas itu di besarkan melalui media dorongan nafas dari sirkulasi kinerja tubuh ketiga pesakti yang besarnya melingkari rumah Gebit. Kemudan diangkatlah ruh Tirtana pada level dua setengah, langit ketiga. Level ini didasarkan pada penggabungan cakra dan penambahan cakra diatas setelah +7 oleh ketiga pesakti itu.
Penyapuan pembuangan energi negatif sebagai syarat-rukun terapi penyembuhan penyakit pun dimulai. Dari tahap pembukaan cakra yang di awali dari cakra mahkota, ajna, tenggorokan, jantung, flexus, tantian dan dasar. Dan seperti biasanya, maka akan terlihat bagi mata yang dapat melihatnya. Dari ujung-ujung jari ketiga pesakti itu menjulurkan cahaya putih. Dan akan berubah-rubah warnanya menyesuaikan jenis penyakit yang di derita Tirtana.
Demi amannya proses penyembuhan. Ketiganya membawa ruh Tirtana menuju level sembilan langit kesepuluh. Tempat istana para pesakti bersemayam. Tempat itu dalam puncak “teori emanasi” filosof Al-Farabi adalah wujud kesepuluh atau akal kesembilan. Tuhan adalah wujud akal sebelas atau akal sepuluh. Yaitu Tuhan berada pada dirinya sendiri. Yang memunculkan bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah, Maka, dengan penyerangan negativisme jurus seri 1 tehnik Invinity dan Ngastral, mengindikasikan mereka masuk wilayah pertempuran energi negatif dan positif di alam Ghaib.
Pertarungan itu adalah amukan para pasukan setan dari arah bumi yang menyerang ketiga pendekar itu. Serangannya semacam letupan bola api yang melesat pada ketinggian tak terbatas. Namun apa yang terjadi?
Semakin lama bola api semakin banyak. Jumlahnya mencapai jutaan kubik. Ribuan setan dengan komandan pasukan Kuntil Anak dan Banas Pati yang memiliki badan sebesar Bumi dan tinggi sampai di kulit langit pertama itu tak mampu apa-apa. Anak buahnya kelabakan tak tentu arah mengendalikan energinya.
Pada hitungan ketiga, kelompok lain dari unsur tanah, air, api, udara saling bertarung. Benturan keras terjadi dimana-mana antara berbagai unsur makhluk. Mulai dari samping kanan, kiri, atas, dan bawah.
Pada sisi lain. Di atas langit sepuluh, istana para pesakti. Selepas gerakan jurus seri satu sampai sembilan terlaksana, para pesakti berhasil mengusir seluruh penyakit didalam tubuh Tirtana. Arwah perempuan itu berubah total menjadi wanita yang cantik-jelita. Hal ini tak lepas dari peran air kawah di istana pesakti yang ia gunakan untuk mandi besar disana.
Dan lihatlah sekarang. Tirtana menjadi cantik dan amat seksi sekali. Menjadi incaran para perusahaan-perusahaan sebagai bintang iklan untuk promosi produknya di berbagai media. Walau demikian, itu tidak membawa sikap rakus dan sombong pada dirinya. Karena itu masih suasana di alam ghaib. Yang didukung oleh selimut para penunggu menara sakti dan malaikat. Keadaan akan menjadi lain, setelah ketiga pesakti membentuk formasi seperti semula mengeliling jasad Tirtana di ranjang tidurnya.
Ruhnya ditiupkan kembali pada jasadnya. Mata Tirtana terbuka dari tidur panjangnya. Suasana ini semakin mengharukan, karena Tirtana memang benar-benar menjadi kecantikan gadis jelita yang mempesona pembacanya. Sang Gebit suaminya langsung di peluknya. Disusul dengan rengkuhan mesra penuh hangat dari kedua putrinya Murni dan Sasa. Wajah kedua puterinya itu amat berseri-seri.
Bagaimana tidak? Seorang anak remaja dalam usia masa pertumbuhannya yang membutuhkan belaian kasih sayang peran seorang ibu tidak dapat menikmatinya hanya karena ibunya terkena penyakit selama lima tahun. Dan wajar saja apabila keduanya lalu sujud syukur dan mencurahkan segala keluh kesahnya pada ibunya yang kini sudah dapat berbicara dan tersenyum dengan lancar. Dan akhirnya keluarga Gebit disempurnakan ketiga pesakti menjadi manusia-manusia renaissance!

YUDI NOOR HADIYANTO, bergelar Sarjana Filsafat Islam, mantan anggota Teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Telogorejo, Kampung bahasa Inggris, Pare-Kediri 23-07-2009 4:42:08.
Selengkapnya...