Oleh Yudi Noor Hadiyanto
Salah satu maestro sastra yang melegenda adalah Pramoedya Ananta Toer. Berkat jasanya, ia menjadi catatan (pena cinta) sejarah harumnya nama bangsa Indonesia beraroma sastra sekali. Ketika penduduk bumi bertanya tentang Pahlawan Asia ini? Pastilah orang akan menjawab Blora adalah kota kelahirannya.
Ya, Blora kini menjadi magnet (pusat) keindahan dunia dalam kesusastraan. Pramoedya sebagai aset tak ternilai harganya, telah membuat arah nama Blora menjadi primadona siapa saja.
Hal ini dapat kita lihat dari beragam penghargaan atas karyanya yang pernah di peroleh. Freedom to Write Award dari PEN, Amerika Center, Werheim Award, Belanda, Ramon Magsaysay Award, Philipina, UNESCO Madanjeet Singh Prize, Perancis, Doctor of Humane Letters, Madison AS, Fukuoka Cultural Grand Pirze, Jepang adalah nama-nama lembaga dan negara yang tak bisa dianggap remeh oleh masyarakat dunia.
Karya-karyanya juga menjadi bacaan wajib dikampus-kampus Fakultas Sastra, dan diterjemahkan dalam 36 bahasa. Tak urung Blora seakan menjadi ikon kota sastranya para sastrawan dan cendekiawan.
Prestasi agung yang sulit ditemukan lagi dalam sejarah perhelatan sastra anak manusia di era sekarang, (meng-kudeta) kepada seluruh lapisan masyarakat yang tinggal di Blora. Pokok tuntutan itu berbunyi bagaimana kita menghidupkan kembali ruh yang bersarang dalam benak, kepribadian, karakteristik dalam (Jati Diri) Pramoedya.
Prinsip inilah harusnya kita hadirkan kembali dalam takjub budaya membaca, menulis, sabar, lembut, kritis, jujur, berani berkata benar, dan apa adanya dalam menjalani hidup. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Pramoedya, “bagi pengarang, sebaik-baik sekolahan adalah kehidupan dan modalnya hanya berani bergaul, pergaulan yang disadari, dipilih, dicoba dan dinilai”.
Basis Budaya
Jejak langkah Pramoedya lari dari Blora di teruskan oleh generasi-generasi baru di Blora. Kebiasaan membaca dapat kita lihat dari jumlah novel yang laris-manis ketika di jual di Blora.
Ini menjadi point tersendiri bagi pemerintah dan para pengusaha toko buku untuk memperluas jaringan penjualan bukunya diseluruh pelosok Bora.
Tidak hanya itu, para pemuda-pemudi enerjik, cerdas dan kritis yang begitu sangat mengidolakan Pramodya, kini berdiri dalam garda terdepan membentuk rumah komunitas budaya.
Mereka menuangkan ekspresi dirinya dalam komunitas Sinau, Ngisor Tugu, Supersamin, Mahameru, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blora, dan Lembaga Penelitian Aplikasi dan Wacana (LPAW) Blora.
Saat ini mereka menjadikan rumah Pram di Blora sebagai sebagai cagar budaya sekaligus tempat berkumpul yang berisi kegiatan kebudayaan. Menggalakkan transfromasi dialektika keintelektualan dalam ikatan moral saling asah, asih, dan asuh.
Tiap seminggu sekali diskusi pun diadakan rutin. Baik itu membahas persoalan-persoalan seputar keadaan di Blora dibidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Dari hasil diskusi itu, direalisasikan dalam bentuk kegiatan seperti meruwat dan menelusuri sungai Lusi. Memperingati hari kematian Pram, dan juga mengawal proses reformasi birokrasi didalam sistem pemerintahan Blora sebagai bentuk idealisme dan kritisisme terhadap kebijakan pemerintah.
Ibarat mata uang, rumah Pramodya sekarang dapat digunakan untuk wisata pendidikan. Karena rumah tersebut menjadi salah satu perpustakaan dengan literatur buku terlengkap di Blora.
Training Menulis
Untuk mewujudkan Blora sebagai kota sastra, mestinya seluruh Stake holder pemerintahan Blora dapat membangkitkan tradisi membaca dan menulis ditengah-tengah masyarakat maupun kalangan pendidikan.
Ini dapat dimulai dengan pengaktifan perpustakaan desa yang melibatkan aparat pemerintahan desa yang tersebar di 271 Desa dan 24 kelurahan. Mendirikan penerbitan buku, majalah, Koran, tabloid, buku sejarah Blora.
Kehadiran media akan menambah semaraknya ruang dialketika dan arus informasi dalam transformasi sosial sesama warga.
Dari kalangan pendidikan, mulailah penanaman benih baca-tulis pada guru dan murid yang encer otaknya mencerna materi-materi work shop kepenulisan di sekolah-sekolah di Blora. Baik itu memulai menulis puisi, cerpen, novel, prosa, artikel ilmiah, dan bagaimana menggali ide dalam kepenulisan.
Kita juga masih teringat dengan langkah Pemerintah Papua yang membayar Andrea Hirata penulis novel Laskar Pelangi dengan gaji 50 juta untuk jadi pembicara training menulis novel kepada para pelajar di sana. Uang sebesar itu di nilai sebagai penanaman investasi jangka panjang untuk bekal hidup para pelajar menghadapi hari depan.
Maka, sebagai makhluk sosial, pemerintah Blora harusnya berusaha untuk memperoleh pengakuan yang dicintai dan mencintai sesama manusia oleh publik. Berbagi kebahagiaan, membuat nyaman para warganya di kala sedih, dan meningkatkan taraf hidup warga Blora melalui tulis menulis.
Meminjam istilah Stephen R. Covey dalam The Seven Habits bahwa tingkat paling tertinggi dalam ruang hidup sosial manusia, sesungguhnya bukan berakhir pada kemandirian, namun kesalingtergantungan.
Dengan demikian, dari hadirnya media baru dan work shop training kepenulisan dikalangan pendidik dan aparat pemerintahan desa, akan memicu penulis-penulis baru dan membawa kota Blora lebih maju, unggul, waras, wareg, wasis dan menjadi kota kabupaten sastrawan yang diidolakan manusia penghuni bumi!
Yudi Noor Hadiyanto, warga Blora, Penulis Buku Menelisik Perjalanan Batin Iwan Fals.
Jumat, 31 Juli 2009
Menghidupkan (Kembali) Pramoedya Di Blora
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar