OLEH Y U D I N O O R H A D I Y A N T O
Tirtana seluruh badannya dalam serangan penyakit Lame. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali bersuara nada parau tiap menggerakkan dua buah bibirnya yang membusuk berbusa hitam. Denyut jantungnya masih berdetak pelan. Memberikan penanda bahwa dia masih dalam keadaan hidup, dan belum terlepas nyawa dari jasadnya.
Al-kisah kehadiran sakit ini datang dengan tiba-tiba saat Tirtana sedang memasak di dapur rumahnya. Ia merasakan didalam seluruh bagian tubuhnya seperti ada yang menggelitik geli, namun amat menyakitkan. Tubuhnya langsung jatuh pingsan. Mengalami sakit depresi mental dan fisik. Yang mengaksiologikan dirinya berbaring di kamar tidurnya bertahun-tahun.
Tiap ia akan membuang air kecil dan buang air besar, sang suamilah yang membimbingnya untuk membersihkan kotoran yang keluar dari lubang dubur dan serpihan bulu-bulu pada alat kelaminnya. Gebit adalah tipe suami yang tabah, sabar, setia, dan tak pernah putus asa untuk mencarikan obat kesana-kemari demi kesembuhan penyakit yang diderita istrinya.
Usaha Gebit ini patut kita jadikan referensi hidup kita. Pada 4 tahun pertama, ia harus membawa istrinya untuk chek up ke dokter rumah sakit di kota tempat tinggalnya. Kadang saat keadaan kritis menimpa Tirtana, ia rela menunggui istrinya dari pagi, siang, dan malam di kamar rumah sakit. Kemudian berangkat dan pulang dari pekerjaannya kembali menemani istrinya saat rawat inap.
Uang hampir 90 juta rupiah pun sudah pergi dari rekeningnya. Uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit mulai dari awal pernikahan sampai mempunyai anak dua itu digunakan untuk proses penyembuhan penyakit istrinya.
Bayangkan saja. Anak pertama yang bernama Murni sudah kelas 6 SD, dan Sasa sudah kelas 2 SD. Kalau Murni sudah berusia 11 tahun, kurang lebih usia pernikahan mereka mencapai 12 tahun. Karena menurut cerita dari Gebit pada saat hari ulang tahun pernikahannya yang pertama, usia kandungan Tirtana, sudah berusia tiga bulan.
Ini berarti memang Gebit adalah laki-laki disiplin dan irit mengeluarkan uangnya saat dari lajang sampai mempunyai dua orang anak. Hal ini tak lepas dari tempat kelahirannya di Yogyakarta dan kekuatan ketulusan dan keikhlasan cinta dari perempuan kelahiran Pati itu.
***
Perjuangan Gebit dalam menyembuhkan istri tercintanya tak membuat perubahan apa-apa dalam tubuh Tirtana. Penyakit yang diderita bukannya semakin membaik, melainkan bertambah parah. Maklum, di Pare para pakar pelayan kesehatan di kota ini tak mampu menyembuhkan penyakit yang diderita isterinya secara total.
Lihat saja, dari pemeriksaan medis di rumah sakit HVA Hospital, yang hanya menambah rasa perih bagian dalam lambung kiri dan dahi kepala Tirtana. Belum lagi tusukkan paku-paku lancip nan tajam pada bagian otot kedua pertengahan lengan kanan cakra minor titik ketiganya. Yang selalu bergerak mengganggu kinerja sel-sel dan menyebar ke seluruh penjuru pembuluh aliran darahnya.
Bahkan tragedi tragis dahsyat pernah ia alami. Saat itu bundaran matahari akan tenggelam dilangit barat. Dari atas langit tiba-tiba saja melesat 11 butir gelombang pecahan batu rembulan berwarna kuning kemerah-merahan. Cahaya itu bergerak menembus langit-langit kamar dan menelusup kedalam tubuh lunglai Tirtana. Yang mengakibatkan bola matanya jadi melotot menjorok kedepan dua sentimeter, dan suasana tubuhnya yang kejang-kejang. Menegangkan.
Coba saksikan sekarang. Mulut Tirtana tanpa sadar berteriak keras. Hingga gelombang suaranya memadamkan bara api diatap langit-langit kamarnya akibat dari gesekan benda langit dengan genting rumahnya.
“Tolong…Tolong….tolong….! Bantu aku kang…. ? aku diserang….!”
Ini bukanlah serangan bom yang tiba-tiba meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton tempo hari, yang menyebabkan kematian sebangsa anak manusia konon yang tidak berdosa. Melainkan kiriman penyakit yang memang disengaja oleh oknum yang tidak menyukai dengan kehidupan Tirtana dan keluarganya.
Kejadian semacam ini kebanyakan orang menyebutnya dengan serangan “santet”. Tapi aku kurang sepakat dengan definisi itu. Aku lebih menyukainya dengan pengiriman penyakit oleh makhluk manusia yang bersekongkol dengan Setan dan Jin. Aktor itu bisa disebut dengan dukun, orang pintar, maupun istilah sebutan orang yang tahu mengenai seluk beluk mengenai hukum, etika, dan tatanan nilai dalam pertarungan kehidupan dunia kosmos dan metafisika.
Walhasil. Serangan itu membuat kalut Gebit dan kedua anaknya. Ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan orang pintar, amanat bisikan dari istrinya. Maka, konsekuensi logisnya, ia berpamitan pada kedua anak istrinya untuk pergi mencari orang pintar.
***
Sebulan sudah Gebit mencari orang yang pas dan cocok untuk menyembuhkan penyakit istrinya. Namun belum ketemu sama orangnya. Karena dalam keyakinannya; “mencari obat orang terkena penyakit kiriman semacam ini membutuhkan jodoh orang yang ditentukan Tuhan dalam proses kesembuhan penyakit isterinya”.
Dan semua energi dalam usaha ia kerahkan. Mulai menjual tanah warisan dari orang tuanya yang berada di kampung halamannya Yogja, sampai menjual kendaraan roda dua yang ia miliki. Uangnya ia gunakan untuk menempuh perjalanan ke gunung Kelud. Sebab, konon di Desa bawah Gunung itu ada orang pintar yang sudah teruji kemampuannya dalam menyembuhkan penyakit-penyakit semacam ini.
Sesampainya disana, Gebit tidak menemukan apa-apa. Hampir saja dia putus asa, karena yang ditemukan disana hanya puing-puing bangunan yang runtuh. Semacam bangunan pada masa zaman sejarah pada era Megalitikum.
Namun, keadaan sedikit ada kejelasan titik terangnya. Saat petang perjalanan kembali ke rumahnya. Gebit tertidur diatas batu besar tanah tegalan. Dia bermimpi bertemu tiga pemuda sedang bermeditasi diatas awang-awang. Ketiga pemuda itu terlihat duduk bersila membentuk sebuah lingkaran. Cakra-cakranya menyatu dengan masing-masing simbolitas warna Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Putih (MEJIKUHIBINIPU).
Perputaran cakra-cakra itu seperti arah jarum jam. Penanda kebangkitan pelangi Kundalini mengalir dari cakra –7 sampai +7. Gumpalan tenaganya melandas cepat keatas puncak langit sembilan, lalu flash back pada titik tengah pusat gabungan cakra tempat mereka duduk bersila.
Gebit tersentak kaget bukan main. Sampai nafasnya terengah-engah. Matanya berkedip cepat-kilat seperti tak percaya dengan kejadian yang di alaminya. Keadaan ini semacam puncak kesadaran yang tersandar diantara alam nyata dan tidak nyata. Hal ini membawanya pada tabung isi pesan dalam mimpinya?
Dan pergilah dia menuju tanah perbukitan lereng Gunung Kelud. Dengan hati was-was, Gebit melangkahkan kakinya menuju ke puncak Gunung. Sesampainya di puncak ketiga (air tiga rasa). Pandangan matanya tertuju pada bangunan Padepokan. Dia berdiri lama. Termangu. Mengangan-angan. Namun, tanpa diduga. Tiga telapak tangan menepuk punggungnya dari arah belakang. Kejadian ini membuat dia kaget dan membuat jantungnya berdetak kencang. Sehingga ujung ubun-ubunnya jadi merinding dan tak berani menolehkan kepalanya ke arah belakang.
Suasana ini makin menegangkan sekali. Saat kedua kelopak matanya terbuka. Gebit sudah berada ditengah-tengah Padepokan Atma Yoga (PAY). Padepokan itu bangunannya terbuat dari kayu Diospyris Macrophllanya berlantaikan hitam batu marmer. Kanan kiri bangunannya adalah hutan rimba dari pohon Phoeniz Dactylifera. Dan dengan wajah terbata-bata, dia menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya pada ketiga sosok penuh wibawa itu.
***
Ketiga pesakti yang membawa Gebit kembali ke rumahnya adalah para pendekar tenaga dalam aliran Radiasi Tenaga Dalam (RTD). Dalam terminologi literatur sejarahnya, golongan ini melatih dirinya dengan gerakan dasar Atma Yoga sebagai proses pengeluaran energi negatif didalam tubuh dan memasukkan energi positif dari alam dengan jurus-jurus RTD. Dengan rangkaian pengaktifan masing-masing cakra dan visualisasi penghubungan dari unsur alam tanah, air, api dan udara, mereka memulai proses penyembuhannya.
Gebit dan kedua anaknya terbengong dalam alunan do’a. Sementara ketiga pendekar itu membimbing Tirtana untuk rileks dan merebahkan badannya ke arah kiblat. Jantung ketiganya diikat dengan tali pita merah ke aarah jantung Tirtana, menciptakan bola warna kuning emas disekeliling kamar.
Bola emas itu di besarkan melalui media dorongan nafas dari sirkulasi kinerja tubuh ketiga pesakti yang besarnya melingkari rumah Gebit. Kemudan diangkatlah ruh Tirtana pada level dua setengah, langit ketiga. Level ini didasarkan pada penggabungan cakra dan penambahan cakra diatas setelah +7 oleh ketiga pesakti itu.
Penyapuan pembuangan energi negatif sebagai syarat-rukun terapi penyembuhan penyakit pun dimulai. Dari tahap pembukaan cakra yang di awali dari cakra mahkota, ajna, tenggorokan, jantung, flexus, tantian dan dasar. Dan seperti biasanya, maka akan terlihat bagi mata yang dapat melihatnya. Dari ujung-ujung jari ketiga pesakti itu menjulurkan cahaya putih. Dan akan berubah-rubah warnanya menyesuaikan jenis penyakit yang di derita Tirtana.
Demi amannya proses penyembuhan. Ketiganya membawa ruh Tirtana menuju level sembilan langit kesepuluh. Tempat istana para pesakti bersemayam. Tempat itu dalam puncak “teori emanasi” filosof Al-Farabi adalah wujud kesepuluh atau akal kesembilan. Tuhan adalah wujud akal sebelas atau akal sepuluh. Yaitu Tuhan berada pada dirinya sendiri. Yang memunculkan bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah, Maka, dengan penyerangan negativisme jurus seri 1 tehnik Invinity dan Ngastral, mengindikasikan mereka masuk wilayah pertempuran energi negatif dan positif di alam Ghaib.
Pertarungan itu adalah amukan para pasukan setan dari arah bumi yang menyerang ketiga pendekar itu. Serangannya semacam letupan bola api yang melesat pada ketinggian tak terbatas. Namun apa yang terjadi?
Semakin lama bola api semakin banyak. Jumlahnya mencapai jutaan kubik. Ribuan setan dengan komandan pasukan Kuntil Anak dan Banas Pati yang memiliki badan sebesar Bumi dan tinggi sampai di kulit langit pertama itu tak mampu apa-apa. Anak buahnya kelabakan tak tentu arah mengendalikan energinya.
Pada hitungan ketiga, kelompok lain dari unsur tanah, air, api, udara saling bertarung. Benturan keras terjadi dimana-mana antara berbagai unsur makhluk. Mulai dari samping kanan, kiri, atas, dan bawah.
Pada sisi lain. Di atas langit sepuluh, istana para pesakti. Selepas gerakan jurus seri satu sampai sembilan terlaksana, para pesakti berhasil mengusir seluruh penyakit didalam tubuh Tirtana. Arwah perempuan itu berubah total menjadi wanita yang cantik-jelita. Hal ini tak lepas dari peran air kawah di istana pesakti yang ia gunakan untuk mandi besar disana.
Dan lihatlah sekarang. Tirtana menjadi cantik dan amat seksi sekali. Menjadi incaran para perusahaan-perusahaan sebagai bintang iklan untuk promosi produknya di berbagai media. Walau demikian, itu tidak membawa sikap rakus dan sombong pada dirinya. Karena itu masih suasana di alam ghaib. Yang didukung oleh selimut para penunggu menara sakti dan malaikat. Keadaan akan menjadi lain, setelah ketiga pesakti membentuk formasi seperti semula mengeliling jasad Tirtana di ranjang tidurnya.
Ruhnya ditiupkan kembali pada jasadnya. Mata Tirtana terbuka dari tidur panjangnya. Suasana ini semakin mengharukan, karena Tirtana memang benar-benar menjadi kecantikan gadis jelita yang mempesona pembacanya. Sang Gebit suaminya langsung di peluknya. Disusul dengan rengkuhan mesra penuh hangat dari kedua putrinya Murni dan Sasa. Wajah kedua puterinya itu amat berseri-seri.
Bagaimana tidak? Seorang anak remaja dalam usia masa pertumbuhannya yang membutuhkan belaian kasih sayang peran seorang ibu tidak dapat menikmatinya hanya karena ibunya terkena penyakit selama lima tahun. Dan wajar saja apabila keduanya lalu sujud syukur dan mencurahkan segala keluh kesahnya pada ibunya yang kini sudah dapat berbicara dan tersenyum dengan lancar. Dan akhirnya keluarga Gebit disempurnakan ketiga pesakti menjadi manusia-manusia renaissance!
YUDI NOOR HADIYANTO, bergelar Sarjana Filsafat Islam, mantan anggota Teater Metafisis Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Telogorejo, Kampung bahasa Inggris, Pare-Kediri 23-07-2009 4:42:08.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar