Jumat, 31 Juli 2009

Sajak-Sajak Yudi Noor Hadiyanto

Harmoni Kata


Sudah lama aku tak menulis puisi
Kini aku mencobanya membentuk kata demi kata
Menundukkan tiap kejadian yang kadang menggelisahkan jiwa
Dari hembusan cahaya, angin, api dan udara
Yang dihantarkan garis, lingkar, lekuk, cantik dan kelokan sastra

Sudah lama aku tak menulis puisi
Jika kau masih ingat padaku wahai kata
Tahukah kamu aku tak kuasa untuk berkata padamu
Bagaimana cara membaca keadaan
Sedang aku tak tahu seberapa dahsyat pengaruh homogen canda katamu ini


Sudah lama aku tak menulis puisi
Terlelap diantara puing-puing gelegar mantra pujangga
Mencari-cari lagi dari akar A sampai Z
Dari timur sampai barat
Dari utara sampai selatan
Dari mata sampai lubang mata hati

Entah seberapa besar linglung puisiku ini terhentak
Diantara belantara muka-muka muram
Yang terkoyak api asmara sumur air mata
Dan yang ku tahu hanya
Ingin jatuh cinta lagi pada harmoni kata.
Sajak 1

Andai kau masih usang untuk mengatakan beribu gundah yang terlahir dari kilatan gejolak hatimu. Aku ingin sekali bersamamu melakukan sejarah besar dalam hidup kita. Nyanyian awan para penindas yang lapar akan kekaparan para pengabdi terus meneror kita. Cantik istriku, maukah kita saat ini terbang diantara telaga cinta. Menorehkan dupa cendana yang malang melintang bertebaran melintasi kilatan halilintar gunung gerhana. Lalu ditempat itu juga kau dan aku akan mendapatkan seutas rangkaian kata yang telah lama kau idamkan sejak lahir. Kata itu telah lama sekali kau tambatkan dalam pusaran sanubariku. Dan kini pada saat kita berada dipuncaknya, kau menjeritkan kata itu saat aku mengecup lembut hatimu.

Sajak 2

Suara yang keluar dari bibirmu itu sungguh sangat besar sekali. Sampai seluruh isi semesta tertunduk pada ayunan tubuh kita berdua. Sesekali kau lempar senyum dari manis bibirmu pada bumi yang semakin muram. Bumi lalu mengerutkan keningnya dan membalasnya dengan ejekan ludahnya. Namun dari arah bawah telapak kaki kita. Kuku-kuku raksasa burung mahkota cinta menyelamkan sayapnya. Menyelimuti kita sehingga suara jeritanmu itu tak terdengar lagi haluan nadanya. Saat kita buka mata berdua. Burung cinta itu telah kabur kembali ke angkasa dan kata-kata itu kau ucapkan lagi diatas dipan kamar tidur kita. Dengan lembut kau katakan padaku, aku kata kota cintamu selamanya.

Sajak 3

Kota kata lahir dari aturan untuk menguasai, menindas dan membunuh. Menawarkan ribuan materi yang terjulang diangan dan membanting tulang rusuk penghuninya. Lalu menguburnya diantara congkak bangunan dari cor-coran beton. Dan tak ada lagi daging jasadmu bersama cacing-cacing dan rayap penjual suara. Lalu harga diri berontak tak terarah. Ingin apa-apa tak bisa apa-apa. Tak bisa apa-apa diambang apa-apa. Apa-apa jadi tak lagi memecahkan mantra-mantra gemuruh gelombang dinasti banjir besi tua. Berkarat menanyakan eksistensi pada penghuni kata kota. Dan kata kota tinggal usang diantara puing-puing kerapuhan keluarga babi.

Sajak 4

Babi kota meliuk-liukkan erangannya. Menyerang seluruh negara di lintasan katulistiwa. Membuat dekap jantung para penghuninya meratap, menangis, dan menahan nafas. Virus babi tergeletak diantara kaca-kaca media. Tak terkontrol lagi larinya entah kemana. Dan saat lajunya menuai puncaknya. Matahari perubahan tiba-tiba berubah menjadi laksana dunia tempurung salju. Berderek diantara panasnya salju-salju hitam aspal pemburu roda. Dan terpelenting menohok para penjabat kerajaan hewan. Berpetualang dengan aturan-aturan yang amat mengasikkan. Mereka menjual banci-banci keparat menggoyahkan kekayaan si miskin, dan mengubah kemiskinan si kaya. Ketika gemuruhnya berada diujung jalan. Orang-orang kembali berlomba diarena dunia kelam.
Warna Kosong


Desis angin yang terlupa menghentakkan ketukannya
Berhenti di dalam piringan tanpa bentuk dan rupa
Menanti kekosongan untuk diisi kembali
Sedikit demi sedikit bersemayam didalam lingkarnya

Suara yang tak terdengar lagi gelombang nadanya
Hilang dikesepian mesin penggerak bumi
Muncul kembali usai berganti suaranya
Dan membisikkan pada kita akan hidup

Dan dengarkanlah bait-bait yang muncul dari dalamnya
Ia mencerna dari kesendirian dan keramaian
Dari kemalangan dan kegembiraan
Dari kepahitan dan untaian air mata
Memberikan warna baru diantara bentuk dan suara.

Suaranya terlihat parau sekali
Harmoninya seperti nyanyian bisu ditengah telaga misterius
Mengurangi jumlah bilangan dan kegenapan yang normal
Dan menjamah cintaku yang abadi untukmu.


Sabar

Orang-orang tergesa-gesa sekali makan, buang hajat dan kencing. Mengukur berapa besar jenis makanan yang akan dimasukkan didalam perutnya. Kemudian menimbangnya kembali berapa besar tahi dan air kencing yang mereka buang satu harinya. Tak pernah memikirkan nasib sel-sel darah dan kemarahan lambung pada mulutnya. Seberapa setianya usus-ususnya mengolahnya menjadi tahi dan betapa dia tak mau diapa-apakan. Dia selalu pasrah menuruti perintah penggunanya. Dan tak pernah mengeluh pada penggunanya. Kamu ini kenapa memperlakukanku sebegitu kerasnya? Kata tenggorokan pada otaknya. Otak menjawab, aku suka sekali dengan kerakusan dan tak dapat lagi menahan nafsu dan amarah apalagi kesabaran.


Rentetan Kiasan Kata: Sebuah Sajak untuk ibu pertiwi
Batang;
Bunga madu diatas jerami
Terselip rindu rumput
Terhisap langit
Memandu perjalanan luka
Tubuh terkapar lumpur kering
Dan memanjakan riak tawa
Anak-anak di sirip peradaban
Tubuh;
Anak-anak menjerit
Dari dalam goa tikus
Menelusir lorong gelap
Berbau amis
Jipratan merapi pasir besi
Menempel ditelinganya
Dan menghukum dirinya
Di kedalaman bumi lebih dalam
Akar;
Suara kecil
Mencekik tulang tua rapuh
Hancur berdebu putih kecoklatan
Menutupi bening matanya yang bersih
Dan menjadikan nama jahat
Diatas kain kafan ia masuk disungai bumi
Terus berenang diantara laju air
Berputar mengelilingi dalam sungai bumi sepanjang masa



Diatas Bukit Ngaliyan, 26 Mei 2009
Yudi Noor Hadiyanto adalah pecinta sastra, berkesenian mulai di teater metafisis Semarang, penulis novel Tempurung Salju, dan kini dia tukang penggesek biola di kafe-kafe.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

cuman ngetest