Jumat, 31 Juli 2009

Menjaga Stabilitas Ekonomi Rakyat Di Musim Kemarau

Oleh Yudi Noor Hadiyanto

Musim kemarau kini telah tiba dengan menunjukkan tanda-tanda akan terjadinya kekeringan di beberapa daerah. Apabila musim ini berjalan lama, maka perekonomian rakyat kecil terutama petani akan terancam lumpuh. Indikasinya lahan pertanian mengalami kekeringan dan petani hanya bisa gigit jari dimasing-masing rumahnya. Karena tidak bisa memanfaatkan lahannya secara maksimal. Jika hal ini terjadi, maka indeks angka penduduk miskin akan bertambah pesat dimusim kemarau.
Seperti yang dituliskan media ini, gejala kekeringan itu antara lain sudah melanda 14 kabupaten/kota di propinsi Jawa Tengah terjadi rawan krisis air bersih. Daerah yang rawan kekeringan tersebut yakni Boyolali, Wonogiri, Kebumen, Magelang, Purworejo, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Kendal, Purwodadi, Kota Semarang, Brebes, dan Tegal. (Suara Merdeka, 6/6).
Masyarakat di daerah yang kekurangan air seperti yang disebutkan di atas, sangat cemas dengan anggapan bahwa musim kemarau ini akan berjalan lama. Selain menghentikan roda produksi pertanian, juga akan berimplikasi pada suramnya perekonomian nasional, buruknya kesehatan, dan semakin mahalnya jangkauan pembelian bahan kebutuhan pokok masyarakat.
Tesis diatas beradu dalam teori ekonomi yang mengatakan, ketika lahan produksi sudah tidak bisa digunakan lagi, maka stok semakin berkurang, sedangkan kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi bahkan meningkat dan harga barang-barang kebutuhan masyarakat akan semakin mahal untuk di jangkau. Melihat kondisi ini, apa yang harus dilakukan pemerintah, dan bagaimana cara menanggulanginya?
Banjir VS Kemarau
Korban pertama dalam setiap musim kemarau jelas adalah rakyat miskin (petani). Sebab, lahan mereka sudah tidak bisa digarap lagi. Kedua adalah kalangan pengusaha kelas menengah yang proses produksi usahanya menggunakan air. Ketiga, adalah kita semuanya pembaca Koran Suara Merdeka yang hidup dibumi Indonesia.
Terhambatnya kerja-kerja masyarakat luas untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keuarga, akhirnya lari untuk mencari air yang harus digunakan untuk hidup mereka sehari-hari. Air sebagai kebutuhan primer manusia menjadi amat penting dan lebih berharga disaat musim kemarau seperti sekarang ini. Sehingga proses produktifitas kinerja rakyat akan terhambat.
Faktor-faktor lain penyebab kekeringan, sama halnya seperti faktor penyebab terjadinya banjir. Keduanya berperilaku diatas jalan linier dependent. Yaitu bersatunya semua faktor yang menyebabkan kekeringan dan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah kekeringan, maka akan semakin besar pula banjir yang akan menyusul, dan sebaliknya.
Dalam pandangan Novitasari MT (2006), disebutkan bahwa penyebab utama terjadinya kekeringan dan banjir adalah perubahan kawasan hutan di hulu-hilir air yang sebelumnya merupakan daerah resapan air menjadi lahan permukiman, industri, dan pertambangan. Bahkan lahan-lahan itu sekarang sudah menjadi hutan yang gundul.
Akibatnya, air hujan yang jatuh langsung mengalir ke sungai, bukan masuk ke dalam tanah. Berkurangnya daerah resapan air ini mengakibatkan pada musim kemarau aliran air dalam tanah berkurang, sehingga berpengaruh pada sistem jaringan sungai. Sedangkan pada musim hujan akan terjadi banjir karena kurangnya lahan peresap air.
Hutan yang dijadikan lahan industri disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Modernisasi dan globalisasi yang ditandai adanya industrialisasi pun telah memunculkan permasalahan baru. Sebab, dalam dunia industri kita yang paling diutamakan adalah keuntungan sesaat. Bukannya berfikir dampak lingkungannya dalam waktu jangka panjang.
Seperti yang ditulis Willy (2008), Indonesia sebagaimana yang tercatat dalam buku rekor dunia, Guiness Book, termasuk dalam negara dengan tingkat penghancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90 persen dari sisa hutan dunia. Daam setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72 % dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, dan penebangan komersial. Di samping itu, pembukaan areal untuk perumahan dan industri ikut berperan dalam mengurangi wilayah resapan air.
Realisasinya
Rusaknya hutan yang berdampak kurangnya air menuntut tanggungjawab kita bersama untuk mengembalikan hutan-hutan seperti semula. Komitmen pemerintah, para pengusaha, masyarakat dan seluruh elemen bangsa adalah satu rangkaian “kesadaran bersama” tentang pentingnya menghargai pohon, menanam, dan merawatnya serta menjaga kelestariannya sampai kapan pun.
Selanjutnya langkah tepat yang memungkinkan logis untuk kita kerjakan dalam waktu dekat adalah mengelola risiko kekeringan dengan penghematan air di kala kekurangan dan penyimpanan air di kala berlebihan. Dua aktivitas ini adalah merupakan tindakan konservasi air, yakni aktivitas penghematan penggunaan air.
Hal itu bisa dilakukan dengan memperbanyak embung, cekdam, sumur resapan dan terasering. Yang bermanfaat untuk menghambat aliran air hujan dari hulu ke hilir, disertai dengan penyebaran seluas-luasnya ke dalam tanah. Dengan begitu air akan tersimpan disekitar rumah kita. Dan kita tidak kesulitan untuk mendapatkan air ketika musim kemarau telah tiba.
Dengan demikian saat musim kemarau telah tiba, kita tidak kesulitan mendapatkan air, proses berproduksi untuk melanjutkan pekerjaan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga pun tanpa khawatir dengan adanya kekeringan.
Akhirnya ketakutan angka kemiskinan, dan keterpurukan dibidang lain pun dapat di minimalisir. Hal ini harus didukung pemerintah 100 % (seratus persen), rakyat mendambakan roda perekonomian akan tetap terjaga dalam kondisi medan apa pun, terutama yang tertuang dalam filsafat gemahripahlohjinawi toto tentrem kartaning raharjo.

Yudi Noor Hadiyanto, Staf Peneliti Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) Semarang.

Tidak ada komentar: